My Blog List

Friday, March 18, 2011

hari terakhir sang buddha

    Banyak kejadian dalam kehidupan Sang Buddha yang terjadi sesudah tahun ke-45 usia Sang Buddha, dicatat tanpa petunjuk tahun yang pasti saat maan kejadian itu berlangsung. Akan tetapi kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun ke-80 usia Sang Buddha, ditulis pada tahun tersebut karena kejadian-kejadian tersebut dicatat di dalam Maha Parinibbana Sutta. 

    Ketika Sang Buddha mencapai usia ke-80, Beliau merasa bahwa hariNya di dunia ini hampir berakhir. Merskipun Beliau menderita sakit dan akibat-akibat dari usia tua seperti orang-orang pada umumnya, Beliau berbeda dari orang kebanyakan. Dengan kekuatan batinNya yang dikembangkan melalui latihan batin yang telah maju sekali, Beliau mampu mengatasi berbagai rasa sakit di tubuhNya. Batin Beliau selalu bersinar laksana berlian yang bersinar, meskipun jasmaniNya telah mulai melemah. 

    Dalam tahun terakhir dari hidupNya ini, Beliau memutuskan untuk menghabiskan hari-hari terakhirNya di alam sekitar yang tenang dan damai di Kusinara, desa kecil di Utara India. Beliau lebih suka pergi meninggalkan kota-kota besar dan makmur seperti Rajagaha dan dan Savatthi beserta keramaian-keramaiannya, para pedagang, dan para rajanya di sana. 

    Kota tempat Beliau memulai perjalananNya adalah Rajagaha, ibukota Magadha. Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, ditemani oleh Yang Mulia Ananda serta banyak siswaNya, berjalan melewati banyak kota dan desa. Waktu ini, Yang Mulia Rahula dan Yang Mulia Yasodhara telah meninggal dunia, begitu juga dengan kedua orang murid utama Sang Buddha, Yang Mulia Moggallana dan Yang Mulia Sariputta. 
 
    Selama perjalanan, pikiran-pikiran Sang Buddha tertuju pada kesejahteraan Persaudaraan pada Bhikkhu. Banyak dari khotbah Beliau yang berisikan nasihat-nasihat bagaimana para bhikkhu seharusnya berperilaku untuk memastikan bahwa Persaudaraan para Bhikkhu dapat berjalan terus setealah kemangkatanNya. Beliau mengingatkan para MuridNya untuk mempraktekkan semua Kebenaran (Dhamma) yang telah Beliau ajarkan kepada mereka. 

    Satu khotbah, mengingatkan para murid untuk melaksanakan ke-37 Faktor Pencerahan (Bodhipakkhiya-Damma); khotbah lainnya tentang empat cara untuk menilai/mengecek apakah suatu ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha atau tidak, dengan membandingkan mereka dengan Vinaya (peraturan-peraturan disiplin untuk para bhikkhu) dan Sutta-sutta (khotbah-khotbah Sang Buddha). 

    Ada satu khotbah yang Sang Buddha berikan berulang-ulang selama perhentian-perhentiannya dalam perjalanan terakhirNya ini. Itu adalah khotbah tentang pahala-pahala dari mengikuti 3 faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan; kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan, yang akan dapat menolong para siswa bebas dari semua penderitaan. 

    Setibanya di Pava, Sang Buddha dan para siswaNya diundang oleh putra pandai emas desa itu yang bernama Cunda, untuk menerima makanan yang dinamakan Sukaramaddava, atau bagian daging babi jantan adalah hidangan enak yang khusus terbuat dari jamur-jamuran yang bernama Sukaramaddava, tetapi yang lainnya mengatakan bahwa itu adalah hidangan dari daging bagi hutan jantan. 

    Sang Buddha menyarankan agar Cunda menghidangkan Beliau hanya Sukaramaddava yang telah disiapkannya. Makanan lainnya yang telah Cunda persiapkan, dapat dihidangkan kepda para bhikkhu lainnya. Kemudian Sang Buddha mengatakan padanya, “Cunda, jika masih ada Sukaramaddava yang tersisa, kuburkan ia di dalam lubang. Tathagata tidak melihat ada seorang  pun di dunia ini selain Tathagata yang mampu mencerna makanan ini”. 
 
 “Oh, demikiankah, Bhante”, jawab Cunda, dan ia menguburkan sisa makanan tersebut di dalam tanah. Ia mendatangi Sang Buddha, dan setelah memberi hormat, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Buddha mengajarkannya Dhamma. Sang Buddha juga memuji Cunda tas hidangannya yang telah membuat Beliau segar dan kuat kembali setelah perjalanan jauh. namun segera sesudah itu, Sang Buddha menderita sakit perut akibat serangan Disentri, yang mana sebelumnya telah diderita Beliau di desa Beluva, dan sakit yang amat sangat kini menyerangNya. Dengan usaha dari kemauan, Beliau sangggup menahan rasa sakit tersebut. Meskipun amat lemah, Sang Buddha memutuskan untuk langsung meneruskan perjalanan ke Kusinara, yang jauhnya kurang lebih 6 mil lagi. Setelah perjuangan melawan sakit, Beliau tiba di hutan pohon Sala, yang persis berada di pinggiran kota. 

    Sang Buddha mandi untuk terakhir kalinya di sungai Kuttha. Setelah istirahat sejenak, lalu Beliau berkata: “Sekarang mungkin akan terjadi bahwa sebagian orang akan membuat Cunda menjadi menyesal karena telah memberi Tathagata hidangan yang membuatNya sakit. Ananda, bila ini terjadi, engkau harus mengatakan kepada Cunda bahwa engkau telah mendengar langsung dari Sang Buddha bahwa itu adalah keberuntungan bagi dia. Katakan padanya bahwa ada dua macam persembahan kepada Sang Buddha yang mempunyai pahala yang sama, yaitu persembahan makanan saat menjelang Pencerahan Sempurna-Nya dan persembahan makanan pada saat menjelang Kemangkatan-Nya. Ini adalah kelahiran terakhir dari Sang Buddha”. 

    Kemudian Beliau berkata, “Ananda, tolong siapkan tempat pembaringan untuk Tathagata dengan kepala mengarah ke Utara, di antara dua pohon Sala besar. Tathagata lelah dan ingin berbaring”. 

    Pada saat itu juga, kedua pohon Sala tersebut tiba-tiba dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran karena pengaruh dari para Dewa; meskipun saat itu bukan musimnya. Mereka menaburi dan memandikan Sang Buddha dengan bunga-bunga yang dijatuhkannya, sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada Beliau. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Ananda, kedua pohon Sala besar ini menaburi Tathagata degan bunga-bunganya seolah-oleh mereka memberi penghormatan kepada Tathagata. Tetapi ini bukanlah cara bagaimana Tathagata seharusnya dihormati dan dihargai. Melainkan, adalah bila para bhikkhu dan bhikkhuni, atau laki-laki dan perempuan umat awam, yang hidup sesuai dengan Ajaran Tathagata, itulah cara menghormati dan menghargai Tathagata”. 

    Terdapat 4 tempat bagi pengikut setia Buddha untuk dikunjungi, yang akan menjadi inspirasi bagi mereka. Inilah keempat tempat suci yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha:
1. Tempat kelahiran Sang Buddha.
2. Tempat dimana Sang Buddha mencapai Kebuddhaan (Penerangan Sempurna)
3. Tempat dimana Sang Buddha memberikan KhotbahNya yang pertama dan
    memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya.
4. Tempat dimana /Sang Buddha mencapai Maha Parinibbana. 

    Sesaat sesudah itu, didapati bahwa Y. M. Ananda tidakk ada di sana. Ia telah pergi ke dalam kutinya, berdiri dengan bersandar di pinggir pintu sambil menangis. Ia berpikir, “Aduh! Saya masih seorang yang harus belajar (sekha), seorang yang masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Dan Sang Guru akan meninggalkan saya - Ia yang amat baik!” 

    Dan, Sang Buddha memanggil Ananda, berkata padanya, “Sudahlah Ananda! Janganlah bersedih dan menangis. Bukankah Tathagata telah berulang kali mengatakan kepadamu bahwa kan terjadi perpisahan dan meninggalkan semua yang disayangi dan dicintai? Bagaimana mungkin bahwa segala sesuatu yang telah dilahirkan, yang memiliki awal, dapat melawan kematian? Hal semacam itu tidaklah mungkin. 

     “Ananda, engkau telah melayani Tathagata degnan tindakan yang penuh cinta-kasih, selalu siap menolong, dengan senang hati, dan bersahabat, demikian pula dalam ucapan dan pikiranmu. Engkau telah membuat kebajikan, Ananda. Terusalah berusaha dan engkau akan segera terbebas dari semua kelemahan kemanusiaanmu. Dalam waktu yang sangat singkat engkau akan menjadi Arahat”. 

     “Sekarang engkau boleh pergi, Ananda. Tapi pergilah ke Kusinara dan katakan kepada semua orang bahwa malam ini, pada waktu jaga terakhir, Sang Buddha akan mangkat menuju Nibbana. datang dan temuilah Sang Buddha sebelum Beliau mangkat”. 

    Maka, Y. M. Ananda degnan ditemani seorang bhikkhu lainnya melaksanakan apa yang disuruh oleh Sang Buddha, pergi ke Kusinara untuk mengumumkan kepada ordang-orang di sana. Dan semua orang diKusinara, laki-laki, perempuan, dan anak-anak datang ke tempat pohon Sala kembar untuk menyampaikan selamat tinggal kepada Sang Buddha. Keluarga demi keluarga, mereka bernamaskara di dekat Sang Buddha sebagai ucapan selamat tinggalnya kepada Beliau. 

sumber : http://mitta.tripod.com

No comments:

Post a Comment