My Blog List

Friday, March 18, 2011

maha pajapati gotami

Pembentukan Sangha Bhikkhuni
 
    Pada tahun ke-5 Kebuddhaannya, ketika Sang Buddha tinggal di Vesali, Beliau mendengar bahwa ayahnya, raja Suddhodana, jatuh sakit. Beliau memutuskan untuk mengunjungi ayahnya di Kapilavatthu untuk mengajarkan Dhamma kepadanya. Setelah mendengar uraian Dhamma dari Sang Buddha tersebut, sang Raja langsung mencapai tingkat kesucian Arahat, dan meninggal dengan damai selang tujuh hari sesudahnya. Adalah dalam tahun ini Sangha Bhikkhuni didirikan atas permohonan Maha Pajapati Gotami, bibi sekaligus ibu angkat Sang Buddha. 

    Tiga kali Maha Pajapati Gotami telah menemui Sang Buddha dan memohon agar Beliau mau menahbiskannya menjadi seorang anggota Sangha, tetapi setiap kali pula Sang Buddha menolak, tanpa memberi satu alasan apapun. Setelah Sang Buddha tinggal di Kapilavatthu selama Beliau suka, Beliau melanjutkan perjalanan kembali ke Vesali. 

    Pajapati Gotami adalah seorang wanita yang sangat tekun dant idak mudah putus asa. Dia memotong rambutnya dan memakai pakaian kuning, dan dengan diikuti oleh sejumlah besar wanita suku Sakya, dia berjalan sejauh kira-kira 150 mil dari Kapilavatthu ke Vesali. Ketika dia tiba di Vesali, kakinya bengkak dan tubuhnya penuh dengan debu. Dia berdiri di luar Ruangan di mana Sang Buddha tinggal, dengan air mata memenuhi wajahnya, tetap mengharap agar Sang Buddha mau menahbiskannya menjadi seorang bhikkhuni. 

    Ananda sangat heran melihatnya dalam keadaan seperti ini. “Gotami, mengapa engkau berdiri di sini dalam keadaan seperti ini?” tanya Ananda. 

 “Yang Mulia Ananda, itu karena Sang Buddha tidak memberi izin kepada para wanita untuk menjadi bhkkhuni”, jawabnya. 

 “Tunggu di sini, Gotami, saya akan menanyakan Sang Buddha mengenai hal ini”, kata Ananda kepadanya. Ketika Ananda memohon Sang Buddha untuk merestui Maha Pajapati Gotami menjadi seorang bhikkhuni, Sang Buddha menolak. Ananda memohon tiga kali dan tiga kali pula Sang Buddha menolak. 

    Ananda lalu mengajukan permohonan ini dengan cara lain. Dengan hormat ia bertanya kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, apakah wanita mampu merealisasi tingkat-tingkat kesucian bila sebagai bhikkhuni?”
 “Mereka mampu, Ananda”, jawab Sang Buddha.
 “Jika demikian adanya, Yang Mulia, amaka akan baiklah jika wanita dapat ditahbiskan sebagai bhikkhuni”, kata Ananda, menimpali jawaban Sang Buddha. 

 “Ananda, jika Maha Pajapati Gotami dapat menerima Delapan Syarat/Peraturan *), maka dapatlah dianggap bahwa ia telah ditahbiskan sebagai seorang bhikkhuni”. 

    Ketika Ananda mengatakan syarat-syarat tersebut kepada Maha Pajapati Gotami, dia dnegan gembira menyetujui untuk mematuhi syarat-syarat tersebut dan dengan demikian dia secara otomatis menjadi soerang bhikkhuni. Tak berapa lama, dia mencapai tingkat Arahat. Wanita-wanita suku Sakya lainnya yang ditahbiskan bersama degnan dia juga mencapai tingkat Arahat. 

    Pembentukan Sangha Bhikkhuni dengan peraturan-peraturan dan Aturan-aturan tersebut adalah sesuatu yang dilakukan oleh Sang Buddha untuk yang pertama kalinya di dunia. Tak ada pemimpin-pemimpin agama lainnya yang memberikan tempat religius sedemikian tinggi bagi wanita di dalam agamanya.
 *) Peraturan-peraturan ini berhubungan dengan Aturan-aturan Vinaya tertentu.

sumber : mitta.tripod.com 

khema

Ratu Cantik yang Menjadi Siswa-Utama-Wanita Sang Buddha
 
    Sama seperti Sang Buddha telah menunjuk 2 siswa utama, Y.A. Sariputta dan Y.A. Mogallana untuk Sangha Bhikkhu, Beliau juga telah menunjuk dua orang siswa utama wanita untuk Sangha Bhikkhuni. Mereka adalah Y.A. Khema dan Y.A. Uppalavanna.

Khema adalah salah satu dari ratu-ratu cantik raja Bimbisara. Perubahan yang terjadi pada diri ratu Khema ini adalah kejadian yang jarang, di mana Sang Buddha menggunakan kekuatan batin Beliau untuk membuat perubahan di hati orang lain. Sang Buddha tidak pernah menggunakan kekuatan Beliau untuk mengendalikan emosi/perasaan orang lain, melainkan semata-mata untuk membangkitkan pengertian dan memunculkan kebijaksanaan. 

    Khema cantik  bagaikan bulan purnama yang memantul pada danau yang tenang di tengah malam. Pipinya sangat halus seperti kelopak bunga teratai dan matanya bercahaya bagaikan permata. Ketika ia mendengarkan bahwa Sang Buddha tidak begitu memuji kecantikan fisik, ia tidak ingin menjumpai Beliau. Pada suatu pagi yang dingin dan angin berhembus sepoi-sepoi, Khema memutuskan untuk mengunjungi vihara yang dibangun oleh raja Bimbisara untuk Sang Buddha di Hutan Bambu. Tupai-tupai berlarian di pohon-pohon buah yang membuat bayang-bayang panjang di atas rumput. Telaga-telaga ditutupi oleh teratai-teratai dan bau wangi jasmin berhembus di udara. 

    Kemudian Khema tertarik dengan suara yang dalam dan jernih yang datang dari ruang pembabaran Dhamma. Ini tidak seperti apa yang pernah ia dengar sebelumnya. Suara ini terdengar lebih indah dan merdu daripada nyanyian burung-burung pada waktu menjelang pagi. Suara itu begitu hangat, tenang, serta penuh cinta-kasih dan perhatian. Kata-kata itu adalah kata-kata yang mengandung kebijaksanaan. Bagaikan seekor lebah yang tertarik pada sekuntum bunga, Khema bergerak menuju ke ruang di mana Sang Buddha sedang memberikan uraian Dhamma. Karena ia tidak ingin Sang Buddha mengenalinya maka ia menurunkan kerudung kepalanya hingga menutupi wajahnya dan duduk di belakang ruangan itu. Apa yang tidak ia ketahui adalah bahwa Sang Buddha mengetahui siapa dia dan apa yang sedang ia pikirkan. 

    Dengan kekuatan batinNya, Sang Buddha menciptakan suatu perwujudan seroang gadis muda yang amat cantik, berusia sekitar 16 tahun, sedang berdiri di samping Beliau dan mengipasi Beliau. Khema menghela nafas keheranan pada kecantikan gadis itu dan menatapi gadis itu dengan penuh kekaguman.

 “Oh, lihat itu bentuk hidungnya yang indah, bibirnya, lengan, dan jari-jarinya”, pikir Khema. “Dengan kulitnya yang sempurna, dia tampak seperti bunga yang mekar merekah di musim semi. Dia jauh lebih cantik daripada siapapun yang pernah saya lihat, dan juga dia jauh lebih cantik daripada saya”. 

    Selang beberapa saat, Khema berpikir bahwa matanya sedang menipunya. Apakah dia melihat bahwa gadis muda ini berubah menjadi tua? Ya, benar. Kecantikan itu memudar dari perwujudannya yang cantik. Dengan cepatnya kerutan-kerutan muncul pada wajahnya, dan senyum pada bibirnya yang seperti bunga lotus, berubah menjadi seringaian yang ompong, rambutnya berubah menjadi abu-abu, kemudian putih. Anggota-anggota badan yang semula ramping berisi dan kuat berubah menjadi kurus dan lembah, dan dia jatuh di lantai. Dari seorang gadis yang muda, perwujudan ini kemudian berubah menjadi seorang perempuan tua yang berusia 80 tahun. 

    Khema melihat perempuan tua ini mati dan membusuk sampai tulang-tulangnya menjadi debu. Khema kemudian menyadari bahwa sama seperti gadis cantik tadi, suatu hari ia juga akan menjadi tua dan mati. Semua kesombongan akan kecantikan luar, luluh dari dirinya dan ia seketika mengerti akan ketidakkekalan dari fisik jasmani dan kehidupan.  Ia mencapai tingkat Arahat, dan ia memasuki Sangha Bhikkhuni setelah mendapatkan izin dari raja Bimbisara. ia menduduki ranking pertama dalam Pandangan Terang di antara para bhikkhuni lainnya. 

sumber : http://mitta.tripod.com

sona

Bhikkhu yang Berlatih Terlalu Keras
 
    Putra seorang pengusaha kaya, Sona, senang mendengar musik kecapi dan memainkan alat musik tersebut. Karena ia dibesarkan dalam kemewahan, kulit tubuhnya menjadi sangat lembut dan halus: Dikatakan bahwa bulu badan pun tumbuh di telapak kakinya. Suatu kali ia dibawa menghadap kepada raja Bimbisara yang ingin melihat kaki yang tidak biasa itu, seperti yang begitu sering ia dengar. 

    Sona tinggal di dekat Puncak Bukit Burung Nazar di Rajagaha, di mana Sang Buddha tinggal selama beberapa vassa. Suatu hari, Sona pergi ke Puncak Bukit Burung Nazar untuk mendengar khotbah Sang Buddha tentang kebahagiaan yang akan dialami langsung karena ketiadamelekatan terhadap keinginan-keinginan yang bersifat duniawi. Karena ia ingin mengalami kebahagiaan ini, Sona meminta agar ia ditahbiskan sebagai bhikkhu. 

    Setelah menjadi seorang bhikkhu, ia diajar untuk selalu sadar (penuh sati/perhatian murni) secara terus-menerus, bahkan ketika sedang berjalan. Sona sangat antusias. Setiap hari aia berjalan mondar-mandir di dalam vihara hingga suatu hari kakinya melepuh dan berdarah. 

    Meskipun sudah berlatih begitu keras, ia masih tidak mengalami kebahagiaan, tetapi hanya rasa sakit dan kekecewaan. Pikiran-pikiran tentang keinginan-keinginan terhadap hal-hal duniawi masuk ke dalam batinnya. “Ini tidak berguna”, kata Sona pada dirinya, “Saya sudah berlatih dengan demikian keras, tetapi tetap tidak dapat mencapai apa yang saya harapkan. Lebih baik saya kembali ke kehidupan awam dan menikmati kebahagiaan yang dulu saya alami dengan berbuat amal”. 

    Ketika Sang Buddha mendengar tentang hal ini, Beliau pergi untuk melihat Sona. “Sona”, tegur Sang Buddha, “Tathagata telah mendengar bahwa engkau tidak mendapat hasil yang baik dari latihan kesadaranmu dan ingin kembali ke kehidupan awam. Seandainya Tathagata menjelaskan mengapa engkau tidak mendapatkan hasil-hasil yang bagus, maukah engkau tetap sebagai bhikkhu dan berlatih kembali?” 

 “Ya, saya mau, Bhante”, jawab Sona.
 “Sona, engkau adalah seorang pemusik dan engkau biasanya memainkan kecapi. katakan pada Tathagata, Sona, apakah engkau menghasilkan musik yang bagus bilamana senar-senar kecapi disetel dengan baik, tidak terlalu kencang, tidak pula terlalu kendor?”
 “Saya dapat menghasilkan musik yang bagus, Bhante”, jawab Sona.
 “Apa yang terjadi bilamana senar-senarnya diputar terlalu kencang?”
 “Saya tidak dapat menghasilkan musik apapun, Bhante”, jawab Sona.
 “Sona, apakah sekarang engkau mengerti engkau tidak dapat mengalami kebahagiaan dari pelepasan nafsu keinginan duniawi? Engkau telah memaksa terlalu keras dalam meditasimu. Lakukanlah itu dalam cara yang relaks, tetapi tidak kendor. Cobalah lagi dan engkau akan mengalami hasil-hasil yang bagus”. 

    Sona mengerti dan tetap tinggal di vihara sebagai seorang bhikkhu, dan dalam waktu yang singkat ia mencapai tingkat kesucian. 

sumber : http://mitta.tripod.com

subhadda

Terdapatlah seorang pertapa pengelana bernama Subhadda yang tinggal di dekat Kusinara saat itu dan ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha akan meninggal dunia, ia memutuskan untuk pergi dan menemui Beliau, ingin bertanya tentang sesuatu hal tertentu sebelum Beliau mangkat. Ia yakin bahwa Sang Buddha akan menjawab pertanyaannya dan menjernihkan keragu-raguannya. 

    Jadi Subhadda pergi ke hutan pohon Sala, dan bertanya kepada Yang Mulia Ananda apakah ia dapat menemui Sang Buddha. Tetapi Yang Mulia Ananda berkata, “Cukup, sahabat Subhadda, Sang Buddha sedang sangat letih. Janganlah mengganggu Beliau”. 

    Untuk kedua dan ketiga kalinya Subhadda menyampaikan permohonannya dan untuk kedua dan ketiga kalinya pula yang Mulia Ananda memberikan jawaban yang sama. 

    Akan tetapi, Sang Buddha menangkap sepatah dua-patah kata dari pembicaraan antara Yang Mulia Ananda dan Subhadda, dan Beliau memanggil Yang Mulia Ananda datang padaNYa dan berkata, “Kemarilah, Ananda. Janganlah mencegah Subhadda untuk menemui Tathagata. Biarkanlah ia datang dan menemui Tathagata. Apapun yang akan ditanyakan oleh Subhadda kepada Tathagata, ia akan bertanya karena ingin mengetahui suatu pengetahuan dan bukan untuk mengganggu Tathagata. Dan apapun yang Tathagata katakan dalam menjawab pertanyaannya, ia akan cepat mengerti”. 

    Demikian diberikannya izin, Subhadda mendekati Sang Buddha, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia berkata, “O Gotama, terdapat banyak guru agama yang terkenal, yang mengajarkan ajaran-ajaran lainnya yang berbeda dari ajaran agamaMu. Sudahkah mereka semua, seperti yang mereka nyatakan, telah menemukan kebenaran? Atau sudahkah sebagian dari mereka, menemukan Kebenaran dan yang  lainnya belum? 

 “Cukup, O, Subhadda”, kata Sang Buddha “Engkau tidak usah kuatir tentang ajaran-ajaran mereka. Dengar dan perhatikan baik-baik pada apa yang Tathagata katakan, dan Tathagata akan memberitahukanmu tentang Kebenaran”. 

    Di dalam doktrin atau ajaran mana saja yang padanya tidak ditemukan Jalan Mulia Berunsur delapan, di sana juga tidak akan ditemukan orang-orang yang bisa mencapai Sotapanna, Sakadagami, Anagami, atau Arahat. Tetapi di dalam Ajaran di mana padanya ditemukan Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan padanya saja, Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Dan di dalam AjaranKu ini, O Subhadda, ditemukan adanya Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan padanya saja, Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat ditemukan. Tidak ada pada ajaran dari guru-guru spiritual lainnya dapat ditemukan orang-orang suci semacam ini. Dan jika siswa-siswaKu hidup dengan benar dan mengikuti peraturan-peraturanKu atau aturan-aturan latihan, dunia tak akan pernah kosong dari para Arahat”. 

    Kemudian Subhadda memohon untuk diizinkan memasuki Persaudaraan para Bhikkhu, dan Sang Buddha memenuhi permintaannya. Dalam pada ini Subhadda menjadi bhikkhu dan murid terakhir yang ditahbiskan semasa Sang Buddha masih hidup dan menjadi murid Sang Buddha, sama seperti Kondanna sewaktu di taman rusa di Benares adalah bhikkhu dan murid pertama Sang Buddha 45 tahun lalunya.
    Dan dengan usaha yang rajin dan sungguh-sungguh dalam mengikuti Sang Ajaran, Subhadda segera manjadi seorang Arahat. 

sumber : mitta.tripod.com

hari terakhir sang buddha

    Banyak kejadian dalam kehidupan Sang Buddha yang terjadi sesudah tahun ke-45 usia Sang Buddha, dicatat tanpa petunjuk tahun yang pasti saat maan kejadian itu berlangsung. Akan tetapi kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun ke-80 usia Sang Buddha, ditulis pada tahun tersebut karena kejadian-kejadian tersebut dicatat di dalam Maha Parinibbana Sutta. 

    Ketika Sang Buddha mencapai usia ke-80, Beliau merasa bahwa hariNya di dunia ini hampir berakhir. Merskipun Beliau menderita sakit dan akibat-akibat dari usia tua seperti orang-orang pada umumnya, Beliau berbeda dari orang kebanyakan. Dengan kekuatan batinNya yang dikembangkan melalui latihan batin yang telah maju sekali, Beliau mampu mengatasi berbagai rasa sakit di tubuhNya. Batin Beliau selalu bersinar laksana berlian yang bersinar, meskipun jasmaniNya telah mulai melemah. 

    Dalam tahun terakhir dari hidupNya ini, Beliau memutuskan untuk menghabiskan hari-hari terakhirNya di alam sekitar yang tenang dan damai di Kusinara, desa kecil di Utara India. Beliau lebih suka pergi meninggalkan kota-kota besar dan makmur seperti Rajagaha dan dan Savatthi beserta keramaian-keramaiannya, para pedagang, dan para rajanya di sana. 

    Kota tempat Beliau memulai perjalananNya adalah Rajagaha, ibukota Magadha. Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, ditemani oleh Yang Mulia Ananda serta banyak siswaNya, berjalan melewati banyak kota dan desa. Waktu ini, Yang Mulia Rahula dan Yang Mulia Yasodhara telah meninggal dunia, begitu juga dengan kedua orang murid utama Sang Buddha, Yang Mulia Moggallana dan Yang Mulia Sariputta. 
 
    Selama perjalanan, pikiran-pikiran Sang Buddha tertuju pada kesejahteraan Persaudaraan pada Bhikkhu. Banyak dari khotbah Beliau yang berisikan nasihat-nasihat bagaimana para bhikkhu seharusnya berperilaku untuk memastikan bahwa Persaudaraan para Bhikkhu dapat berjalan terus setealah kemangkatanNya. Beliau mengingatkan para MuridNya untuk mempraktekkan semua Kebenaran (Dhamma) yang telah Beliau ajarkan kepada mereka. 

    Satu khotbah, mengingatkan para murid untuk melaksanakan ke-37 Faktor Pencerahan (Bodhipakkhiya-Damma); khotbah lainnya tentang empat cara untuk menilai/mengecek apakah suatu ajaran itu adalah ajaran Sang Buddha atau tidak, dengan membandingkan mereka dengan Vinaya (peraturan-peraturan disiplin untuk para bhikkhu) dan Sutta-sutta (khotbah-khotbah Sang Buddha). 

    Ada satu khotbah yang Sang Buddha berikan berulang-ulang selama perhentian-perhentiannya dalam perjalanan terakhirNya ini. Itu adalah khotbah tentang pahala-pahala dari mengikuti 3 faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan; kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan, yang akan dapat menolong para siswa bebas dari semua penderitaan. 

    Setibanya di Pava, Sang Buddha dan para siswaNya diundang oleh putra pandai emas desa itu yang bernama Cunda, untuk menerima makanan yang dinamakan Sukaramaddava, atau bagian daging babi jantan adalah hidangan enak yang khusus terbuat dari jamur-jamuran yang bernama Sukaramaddava, tetapi yang lainnya mengatakan bahwa itu adalah hidangan dari daging bagi hutan jantan. 

    Sang Buddha menyarankan agar Cunda menghidangkan Beliau hanya Sukaramaddava yang telah disiapkannya. Makanan lainnya yang telah Cunda persiapkan, dapat dihidangkan kepda para bhikkhu lainnya. Kemudian Sang Buddha mengatakan padanya, “Cunda, jika masih ada Sukaramaddava yang tersisa, kuburkan ia di dalam lubang. Tathagata tidak melihat ada seorang  pun di dunia ini selain Tathagata yang mampu mencerna makanan ini”. 
 
 “Oh, demikiankah, Bhante”, jawab Cunda, dan ia menguburkan sisa makanan tersebut di dalam tanah. Ia mendatangi Sang Buddha, dan setelah memberi hormat, ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Buddha mengajarkannya Dhamma. Sang Buddha juga memuji Cunda tas hidangannya yang telah membuat Beliau segar dan kuat kembali setelah perjalanan jauh. namun segera sesudah itu, Sang Buddha menderita sakit perut akibat serangan Disentri, yang mana sebelumnya telah diderita Beliau di desa Beluva, dan sakit yang amat sangat kini menyerangNya. Dengan usaha dari kemauan, Beliau sangggup menahan rasa sakit tersebut. Meskipun amat lemah, Sang Buddha memutuskan untuk langsung meneruskan perjalanan ke Kusinara, yang jauhnya kurang lebih 6 mil lagi. Setelah perjuangan melawan sakit, Beliau tiba di hutan pohon Sala, yang persis berada di pinggiran kota. 

    Sang Buddha mandi untuk terakhir kalinya di sungai Kuttha. Setelah istirahat sejenak, lalu Beliau berkata: “Sekarang mungkin akan terjadi bahwa sebagian orang akan membuat Cunda menjadi menyesal karena telah memberi Tathagata hidangan yang membuatNya sakit. Ananda, bila ini terjadi, engkau harus mengatakan kepada Cunda bahwa engkau telah mendengar langsung dari Sang Buddha bahwa itu adalah keberuntungan bagi dia. Katakan padanya bahwa ada dua macam persembahan kepada Sang Buddha yang mempunyai pahala yang sama, yaitu persembahan makanan saat menjelang Pencerahan Sempurna-Nya dan persembahan makanan pada saat menjelang Kemangkatan-Nya. Ini adalah kelahiran terakhir dari Sang Buddha”. 

    Kemudian Beliau berkata, “Ananda, tolong siapkan tempat pembaringan untuk Tathagata dengan kepala mengarah ke Utara, di antara dua pohon Sala besar. Tathagata lelah dan ingin berbaring”. 

    Pada saat itu juga, kedua pohon Sala tersebut tiba-tiba dipenuhi oleh bunga-bunga yang bermekaran karena pengaruh dari para Dewa; meskipun saat itu bukan musimnya. Mereka menaburi dan memandikan Sang Buddha dengan bunga-bunga yang dijatuhkannya, sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada Beliau. Kemudian Sang Buddha berkata kepada Ananda, “Ananda, kedua pohon Sala besar ini menaburi Tathagata degan bunga-bunganya seolah-oleh mereka memberi penghormatan kepada Tathagata. Tetapi ini bukanlah cara bagaimana Tathagata seharusnya dihormati dan dihargai. Melainkan, adalah bila para bhikkhu dan bhikkhuni, atau laki-laki dan perempuan umat awam, yang hidup sesuai dengan Ajaran Tathagata, itulah cara menghormati dan menghargai Tathagata”. 

    Terdapat 4 tempat bagi pengikut setia Buddha untuk dikunjungi, yang akan menjadi inspirasi bagi mereka. Inilah keempat tempat suci yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha:
1. Tempat kelahiran Sang Buddha.
2. Tempat dimana Sang Buddha mencapai Kebuddhaan (Penerangan Sempurna)
3. Tempat dimana Sang Buddha memberikan KhotbahNya yang pertama dan
    memutar Roda Dhamma yang tiada bandingnya.
4. Tempat dimana /Sang Buddha mencapai Maha Parinibbana. 

    Sesaat sesudah itu, didapati bahwa Y. M. Ananda tidakk ada di sana. Ia telah pergi ke dalam kutinya, berdiri dengan bersandar di pinggir pintu sambil menangis. Ia berpikir, “Aduh! Saya masih seorang yang harus belajar (sekha), seorang yang masih harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Dan Sang Guru akan meninggalkan saya - Ia yang amat baik!” 

    Dan, Sang Buddha memanggil Ananda, berkata padanya, “Sudahlah Ananda! Janganlah bersedih dan menangis. Bukankah Tathagata telah berulang kali mengatakan kepadamu bahwa kan terjadi perpisahan dan meninggalkan semua yang disayangi dan dicintai? Bagaimana mungkin bahwa segala sesuatu yang telah dilahirkan, yang memiliki awal, dapat melawan kematian? Hal semacam itu tidaklah mungkin. 

     “Ananda, engkau telah melayani Tathagata degnan tindakan yang penuh cinta-kasih, selalu siap menolong, dengan senang hati, dan bersahabat, demikian pula dalam ucapan dan pikiranmu. Engkau telah membuat kebajikan, Ananda. Terusalah berusaha dan engkau akan segera terbebas dari semua kelemahan kemanusiaanmu. Dalam waktu yang sangat singkat engkau akan menjadi Arahat”. 

     “Sekarang engkau boleh pergi, Ananda. Tapi pergilah ke Kusinara dan katakan kepada semua orang bahwa malam ini, pada waktu jaga terakhir, Sang Buddha akan mangkat menuju Nibbana. datang dan temuilah Sang Buddha sebelum Beliau mangkat”. 

    Maka, Y. M. Ananda degnan ditemani seorang bhikkhu lainnya melaksanakan apa yang disuruh oleh Sang Buddha, pergi ke Kusinara untuk mengumumkan kepada ordang-orang di sana. Dan semua orang diKusinara, laki-laki, perempuan, dan anak-anak datang ke tempat pohon Sala kembar untuk menyampaikan selamat tinggal kepada Sang Buddha. Keluarga demi keluarga, mereka bernamaskara di dekat Sang Buddha sebagai ucapan selamat tinggalnya kepada Beliau. 

sumber : http://mitta.tripod.com

visakha

Wanita Penyokong Terbesar Sang Buddha
 

    Visakha adalah putri yang berbakti dan murah hati dari seorang jutawan. Ketika ia baru berumur 7 tahun, Sang Buddha mengunjungi tempat kelahirannya. Kakeknya, ketika mendengar adanya kunjungan Sang Buddha tersebut, menyuruh Visakha untuk keluar dan menyambut Sang Buddha. Meskipun ia masih amat muda, tetapi ia taat pada agama dan moral-etik. Dengan demikian, segera setelah mendengar uraian Dhamma dari Sang Buddha, ia mencapai tingkat Kesucian Pertama.
 
Ketika ia berusia 15 tahun, beberapa orang brahmana yang melihatnya, berpikir bahwa ia akan menjadi istri yang ideal bagi tuannya yang bernama Punnavaddhana, putra seorang jutawan yang bernama Migara. Vishakha memiliki 5 macam kecantikan seorang wanita - rambut yang indah, bentuk badan yang indah, struktur tulang yang bagus, kulit indah yang halus dan berwarna keemasan, serta tampak muda. Dengan demikian mereka membuat persiapan pernikahan Visakha dengan Punnavaddhana.
 
Pada hari pernikahannya, ayahnya yang bijaksana memberinya beberapa nasihat yang dikelompokkan menjadi sepuluh, sebagai berikut :
1. Seorang istri tidak boleh mencela suami dan mertuanya di depan orang lain.
    Demikian juga kelemahan/kekurangan mereka ataupun pertengkaran rumah tangga
    tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
2. Seorang istri tidak seharusnya mendengarkan cerita-cerita dan laporan-laporan dari
    rumah tangga orang lain.
3. Barang-barang boleh dipinjamkan kepada mereka yang mengembalikannya.
4. Barang-barang tidak boleh dipinjamkan kepada mereka yang tidak
    mengembalikannya.
5. Sanak famili yang miskin dan teman-teman yang miskin harus ditolong meskipun
    mereka tidak dapat membayar kembali.
6. Seorang istri harus duduk dengan anggun bila melihat mertua atau suaminya, ia harus
    menghormati mereka dengan berdiri dari duduknya.
7. Sebelum seorang istri makan, ia pertama-tama harus memastikan bahwa mertua dan
    suaminya telah dilayani. Ia juga harus memastikan bahwa pelayan-pelayannya telah
    diurus dengan baik.
8. Sebelum pergi tidur seorang istri harus memeriksa bahwa semua pintu telah ditutup,
    perabot rumah telah dirapikan, pelayan-pelayan telah melaksanakan tugas-tugas
    mereka, dan mertua telah pergi tidur. Sebagai aturannya, seorang istri harus bangun
    pagi-pagi sekali dan jika tidak sakit, ia tidak boleh tidur siang.
9. Mertua dan suami harus diperlakukan dengan sangat hati-hati laksana api.
10. Mertua dan suami harus dihormati seperti layaknya menghormati dewa.
 
    Sejak Visakha berada di Savatthi, kota suaminya, dia baik dan murah hati kepada semua orang di kota itu sehingga semua orang mencintainya. Suatu hari, ayah mertuanya sedang makan bubur-nasi manis dari mangkuk emas ketika seorang bhikkhu mendatangi rumah itu untuk pindapata. Meskipun si ayah-mertua melihat bhikkhu tersebut, ia tetap meneruskan makannya seolah-olah ia tidak melihat bhikkhu tersebut.
 Visakha dengan sopan berkata kepada bhikkhu tersebut” “Maafkan, Yang Mulia Bhante, ayah mertuaku sedang makan makanan-sisa”.
 
    Sudah sejak lama ayah-mertua Visakha tidak senang kepadanya karena Visakha adalah pengikut setia dan pendukung Sang Buddha, sedangkan dia tidak. Dia lalu mencari kesempatan untuk membubarkan perkawinan anaknya dengan Visakha, tetapi perilaku Visakha tidak bercacat. Sekarang dia mendapatkan kesempatan itu. Karena salah paham terhadap kata-kata Visakha tersebut, dia mengira Visakha telah menghina keluarganya.
 
    Dia memerintahkan Visakha untuk keluar dari rumah itu, tetapi Visakha mengingatkan dia akan permintaan ayahnya kepada 8 anggota keluarga. Ayah Visakha berkata kepada mereka, “Jika terdapat kesalahan pada putriku, selidiklah”.  Jutawan itu setuju dengan permintaan Visakha dan memanggil 8 anggota keluarga untuk datang dan memeriksa Visakha bersalah karena kekasaran ucapannya. Ketika mereka tiba, dia berkata kepada mereka, “Temukanlah kesalahannya dan usir dia dari rumah ini”.

 Visakha membuktikan ketidak-bersalahannya dengan menerangkan sbb : “Tuan-tuan, ketika ayah mertuaku tidak memperdulikan bhikkhu yang manisnya, berarti dia tidak menambah kebajikan dalam kehidupannya yang sekarang. Dia hanya menikmati kebajikan-kebajikan dari perbuatan/kamma lampaunya. Apakah ini bukan seperti makan makanan-sisa?”
 
    Ayah mertuanya harus mengakui bahwa Visakha tidak bersalah karena ucapannya itu. Masih ada beberapa lagi kesalahpahaman setelah itu, tetapi Visakha selalu bisa menjelaskan hingga dia puas. Setelah kejadian-kejadian ini, ayah mertua Visakha menyadari kekeliruannya dan mengakui kebijaksanaan Visakha. Atas saran Visakha, dia mengundang Sang Buddha ke rumahnya untuk memberikan uraian Dhamma. Dengan mendengar uraian Dhamma itu, dia menjadi Sotapanna.
 
    Dengan kebijaksanaan dan kesabaran, Visakha berhasil mengajak keluarga suaminya menajdi keluarga Buddhis yang bahagia. Visakha juga sangat dermawan dan suka menolong para bhikkhu. Ia membangun vihara Pubbarama dengan biaya yang sangat besar untuk kegunaan para bhikkhu. Visakha sangat gembira ketika Sang Buddha menggunakan 6 masa vassa Beliau di sana.
 
    Dalam salah satu ceramah yang disampaikan kepada Visakha, Sang Buddha menguraikan tentang delapan kualitas pada diri seorang wanita yang dapat memelihara kesejahteraan dan kebahagiaan dirinya di dunia ini dan nanti; yaitu :

 “Dalam hal ini, Visakha, seorang wanita itu melakukan pekerjaannya dengan baik, ia mengatur pelayan-pelayannya, ia menghormati suaminya, dan ia menjaga kekayaannya. Dalam hal ini, Visakha, seorang wanita itu memiliki keyakinan (saddha) di dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha, kebajikan-moral (sila), kemurahan-hati (caga), dan kebijaksanaan (panna)”.
 
    Dengan menjadi seorang wanita yang punya banyak bakat, ia memainkan peran penting di dalam berbagai kegiatan Sang Buddha dan para pengikutNya. Saat itu, ia diberi wewenang oleh Sang Buddha untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di antara para bhikkhuni. Beberapa peraturan vinaya juga ditetapkan untuk para bhikkhuni ketika ia diminta untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Ia meninggal dunia dalam usia yang tua benar yaitu 120 tahun.

sumber : http://mitta.tripod.com 

Thursday, March 17, 2011

sikap sang buddha terhadap kekuatan gaib

        Suatu saat, ketika Sang Buddha tinggal di Nalanda di Hutan Pavarika, seorang umat yang bernama Kevaddha datang kepada Beliau, memberi hormat dan berkata, “Yang Mulia, Nalanda adalah sebuah kota yang berhasil, Masyarakat yang tinggal di Nalanda hidupnya makmur, dan mereka mempunyai keyakinan terhadap Sang Bhagava. Yang Mulia, akan lebih baik jika Sang Bhagava menunjuk seorang bhikkhu untuk memperagakan satu keajaiban dari kekuatan supernormal, sehingga orang-orang Nalanda akan menjadi lebih yakin kepada Sang Bhagava”.
        Sang Buddha menjawab, “Kevaddha, Tathagata tidak mengajarkan Doktrin kepada para bhikkhu dalam cara itu”. Sang Buddha memberikan jawaban yang sama ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Beliau untuk kedua dan ketiga kalinya. Setelah ketiga kalinya, Sang Buddha menjawab bahwa ada 3 macam keajaiban supernormal :
    1. Keajaiban dari kekuatan supernormal untuk tampak menjadi banyak menembus     dinding, terbang di udara, menyelam ke dalam tanah, berjalan di atas air. Semua itu     adalah perbuatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa.
    2. Kekuatan supernormal untuk membaca pikiran orang lain.
    3. Kekuatan supernormal untuk mampu membimbing orang-orang sesuai dengan     tingkat batin mereka, demi kebaikan mereka sendiri, dengan menggunakan     cara-cara yang cocok untuk memperbaiki orang-orang tersebut.
        Dua kekuatan supernormal yang pertama tersebut jika dipertunjukkan untuk mempengaruhi orang-orang demi kepentingan sendiri mereka sendiri, itu tidak berbeda dengan pertunjukkan seorang pesulap. Seorang bhikkhu yang mempraktekkan keajaiban duniawi semacam itu adalah sumber dari hal yang memalukan, kehinaan, dan menjijikan. Perbuatan-perbuatan tersebut mungkin dapat mempengaruhi dan memenangkan pengikut, tetapi hal-hal tersebut tidak membawa penerangan untuk membantu mereka menuju akhir dukkha.
        Jenis ketiga dari kekuatan supernormal, meskipun ia bisa disebut suatu ‘keajaiban’, tetapi ia dapat menolong orang-orang untuk bebas dari penderitaan. Inilah satu-satunya kekuatan supernormal yang pantas dipraktekkan.
        Satu-satunya keajaiban yang harus dipertunjukkan adalah sebagai berikut : bila engkau melihat seseorang yang penuh dengan nafsu, keinginan, dan keserakahan maka ajarlah dia untuk bebas dari nafsu, keinginan, dan keserakahan. Bila engkau melihat seseorang yang diperbudak oleh kebencian dan kemarahan, maka pakailah kekuatanmu untuk menolong dia mengendalikan kebencian dan kemarahannya. Bila engkau bertemu degnan orang yang bodoh dan tidak dapat melihat kealamiahan yang sebenarnya dari dunia (segala sesuatu di dunia adalah tidak kekal, mengecewakan, dan tanpa inti), maka gunakanlah kekuatanmu untuk menolong dia mengatasi kebodohannya. Ini adalah ‘keajaiban’ berharga yang dapat engkau pertunjukkan.
        Nasihat kepada Kevaddha ini diperluas pula sampai kepada peraturan Vinaya yang melarang para bhikkhu untuk mempertunjukkan kekuatan-kekuatan gaib untuk mempengaruhi orang-orang dan memperoleh pengikut, tanpa membantu mereka mencapai pencerahan. Hal ini jelas pada kasus Pindola Bharadvaja.
        Arahat Pindola Bharadvaja terkenal dengan kekuatan-kekuatan batinnya. Seorang kaya yang ingin agar bhikkhu ini membuktikan kekuatan batinnya, menaruh sebuah mangkuk indah di atas sebuah tempat yang tinggi dan menantang orang-orang suci untuk dpat menurunkan mangkuk itu. Jika ia dapat melakukannya, ia dapat memiliki mangkuk itu.
        Pindola Bharadvaja melayang naik dan membawa turun mangkuk tersebut dengan mudah. Ini juga dilakukan untuk membuktikan kepada orang kaya tersebut bahwa terdapat orang-orang suci di dunia ini, sebuah fakta yang tidak dipercaya oleh orang kaya itu. Ketika Sang Buddha mengetahui kejadian ini, Beliau memanggil Pindola Bharadvaja untuk membawa mangkuk tersebut. Beliau menghancurkan mangkuk itu berkeping-keping di depan kumpulan para bhikkhu, dan berkata, “Tathagata tidak senang pada demonstrasi kekuatan gaibmu. Kamu tidak pernah boleh memamerkan kekuatanmu semata-mata untuk memukau orang-orang bodoh”. 

Alavaka

    Si Raksasa Makhluk Pemakan Daging Manusia yang Menjadi Sadar
        Alavaka, yang tinggal di dekat kota Alavi, adalah pemakan daging manusia. Karena begitu galak, berkuasa, dan liciknya maka ia dikenal sebagai “si Raksasa”. Suatu hari, raja negeri Alavi pergi berburu rusa di hutan dan ia ditangkap oleh Alavaka. Sang Raja memohon agar ia dilepaskan, tetapi sebagai ganti dari kebebasannya itu ia harus mengirim satu orang setiap hari ke hutan sebagai persembahan untuk Alavaka. Setiap hari seorang tahanan dikirim ke dalam hutan dengan membawa sepiring nasi. Dikatakan bahwa untuk mendapatkan kebebasannya, tahanan itu harus pergi ke pohon tertentu, menaruh nasi di sana dan kemudian dia dapat bebas. Pada mulanya banyak tahanan yang dengan sukarela melaksanakan tugas yang ‘sederhana’ itu. Tetapi setelah waktu berlalu dan tak seorang pun yang kembali untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada tahanan lainnya, para tahanan harus dipaksa setiap hari untuk pergi ke hutan.
        Segera saja penjara menjadi kosong. Bagaimana sekarang cara raja memenuhi janjinya untuk mengirimkan seorang manusia setiap hari untuk santapan raksasa tersebut? Para menteri mengusulkan kepada raja agar meletakkan bungkusan-bungkusan berisi emas di jalanan. Mereka yang ditemukan mengambil bungkusan tersbut akan ditangkap pencuri dan dikirim kepada Alavaka. Lama-kelamaan, tak seorang pun berani mengambil bungkusan-bungkusan itu. Akhirnya usaha terakhirnya dalah raja mulai menangkap anak-anak untuk dijadikan persembahan. Permasalahan yang menakutkan ini menyebabkan kota tersebut menjadi sepi. Akhirnya hanya tinggal satu orang anak laki-laki dan ia adalah putra Sang Raja. Dengan berat hati, sang Raja memerintahkan agar sang Pangeran dikirim ke Alavaka keesokan paginya.
        Hari itu, Sang Buddha kebetulan berada di dekat kota itu. Ketika Beliau memantau dunia ini dengan mata batinNya pagi itu, Beliau melihat apa yang sedang terjadi. Karena rasa belas kasihNya kepada sang Raja, sang Pangeran, dan Alavaka, Sang Buddha seharian melakukan perjalanan pergi ke goa tempat raksasa tersebut dan pada malam harinya Beliau tiba di pintu gerbang goa tersebut. Si Raksasa sedang pergi ke gunung, dan Sang Buddha menanyakan penjaga gerbang apakah Beliau dapat bermalam di goa itu. Ketika penjaga gerbang pergi untuk memberitahukan tuannya tentang permintaan ini, Sang Buddha masuk ke dalam goa, duduk di tempat duduk si Raksasa dan membabarkan Dhamma kepada para istri raksasa tersebut.
        Ketika si Raksasa mendengar apa yang telah terjadi dari pembantunya, dia segera pulang ke rumah dengan sangat marah. Dengan kekuatan maha dasyatnya, dia menciptakan badai yang hebat dengan goncangan dan petir di hutan itu disertai guntur, kilat, angin, dan hujan. Tetapi Sang Buddha tidak takut. Alavaka kemudian menyerang Sang Buddha dengan melempar tombaknya menghantam Sang Buddha, tetapi sebelum senjata itu dapat menyentuh Beliau, tombak-tombak itu jatuh di dekat kaki Sang Buddha. Karena tidak dapat menakut-nakuti Sang Buddha, Alavaka bertanya : 
     “Benarkah tindakan Anda, seorang manusia suci, masuk dan duduk di antara para istri pemilik rumah ketika pemiliknya sedang tidak di tempat?” Sang Buddha lalu bangkit dan akan meninggalkan goa itu.
        Alavaka berpikir, “Betapa bodohnya saya membuang-buang tenaga dengan mencoba menakut-nakuti pertapa ini”. Karena itu dia meminta Sang Buddha masuk ke dalam goa lagi. Si Raksasa memerintahkan Sang Buddha tiga kali untuk keluar dari goa dan tiga kali untuk masuk ke dalam goa dengan harapan di dapat membunuh Sang Buddha untuk meninggalkan goa tersebut untuk keempat kalinya, Sang Buddha menolak melakukannya dan berkata : “Saya tidak akan mematuhi perintahmu, Alavaka. Lakukan apa saja yang dapat kamu lakukan tapi Saya akan tetap tinggal di sini”.
        Karena tidak sanggup memaksa Sang Buddha melakukan apa yang diinginkan, Alavaka mengubah taktiknya dan berkata, “Saya akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Jika engkau tidak dapat menjawabnya saya akan mengoyak jantungmu, membunuhmu, dan melemparkanmu ke seberang sungai”. Sang Buddha berkata kepadanya dengan tenang, “Tak ada seseorang pun, Alavaka, apakah ia seorang manusia atau dewa, pertapa, brahma atau brahmana, yang dapat melakukan hal itu terhadapKu. Tetapi jika engkau ingin menanyakan sesuatu, silakan lakukan”.
        Alavaka menanyakan beberapa pertanyaan yang dia pelajari dari orang tuanya yang juga mendapatkannya secara turun-temurun. Dia telah lupa pada jawabannya, tetapi dia harus melestarikan jawaban-jawaban tersebut dengan menuliskannya di atas daun emas.
        Pertanyaan tersebut adalah : 
    “Apakah kekayaan terbesar bagi seorang manusia?" 
    "Apakah yang dapat memberikan kebahagiaan tertinggi ketika seseorang menguasainya dengan baik?" 
    "Apakah rasa termanis dari semua rasa?" 
    "Jalan kehidupan mana yang terbaik?"
        Sang Buddha menjawab : 
     “Kekayaan terbesar bagi seorang manusia adalah keyakinan. Doktrin/ajaran yang benar bila dikuasai dengan baik akan memberikan kebahagiaan tertinggi. Rasa yang paling manis adalah rasa kebenaran. Hidup yang bijaksana adalah cara hidup yang sepatutnya”.
        Alavaka  menanyakan beberapa pertanyaan lagi yang semuanya dijawab oleh Sang Buddha. Pertanyaan yang terakhir adalah : 
     “Ketika meninggalkan dunia ini untuk menuju ke dunia/alam berikutnya, bagaimana agar seseorang itu tidak bersedih?”
        Jawaban Sang Buddha adalah : 
     “Ia yang memiliki empat kebajikan ini - kebenaran, moral yang baik, keberanian, dan kemurahan hat maka kesedihan tidak akan ada ketika ia harus meninggal dunia”. 
     Karena mengerti arti dari kata-kata Sang Buddha, Alavaka berkata, “Sekarang saya tahu apa rahasia dari kesejahteraan masa depanku. Adalah demi kesejahteraan dan kebaikan diriku, Sang Buddha datang ke Alavi”, Alavaka bersujud kepada Sang Buddha dan memohon agar ia diterima sebagai murid.
        Keesokan paginya ketika para petugas kerajaan Alavi datang bersama dengan putra raja, mereka terpana melihat pemandangan di mana Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada Alavaka yang mendengarkan khotbah itu dengan penuh perhatian. Ketika anak itu dituntun ke arah Alavaka, Alavaka merasa malu pada dirinya sendiri untuk menerima anak itu sebagai persembahan raja. Dan sebaliknya dia membelai kepala anak itu, menciumnya dan menuntunnya kembali kepada para petugas. Setelah itu Sang Buddha memberkati anak itu dan Alavaka. 
     Tentu saja, perubahan dari Alavaka sang pemakan daging manusia, menunjukkan bagaimana Sang Buddha, dengan kebijaksanaan dan welas asihNya yang besar, dapat menjinakkan makhluk yang ganas serta mengubahnya menjadi murid yang lembut. 

Tambadathika

(Seorang penjagal istana)
 
      Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh tahun dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelag mempersiapkan bubur nasi dirumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.
      Pada waktu tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhanna Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat tambadathika melihat Sariputta Thera, tambadathika berpikir, “Meskipun salah hidupku saya telah menghukum mati para pencuri. Sekarang saya harus mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu.” Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut.
      Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tetapi tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelias mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahuihal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri ats kehendaknya atau ia  diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawb bahwa ia duperintahkan raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh. Kemudian Sariputta Thera bertanya, “Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak?” Tambaddathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.
      Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai anulomaññana. Setelah kotbah Dhamma berakhir. Tabadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai  jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya.
      Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikhhu memberitahu beliau perihal kematian tambadathika. Ketika ditanya kemana tambadathika dilahirkan kembali. Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarkannya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita.
      Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin sesorang yang melakukan perbuatan jahat sepeti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar.”

sirima

(Kisah pelacur wanita yang sangat cantik)
 
      Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima Berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain batapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia  mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.
      Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipin belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu.
      Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, “Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!”. Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya. Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan  memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivika, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan buruk hering.
      Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari keempat jenazah Sirima yang cantik sudah tidak cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang.
      Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi kekuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia Sirima. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka ia pun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima.
      Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yng menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail kemudian tawaran diturunkan menjadi 500, 250, 100 , 25 atau dengan cuma-cuam.Kemudian Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin mengambil tubuhnya walau dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subjek dari kelapukan dan kehancuran.”
      Bhikkhu muda itu kemudian mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah dhamma itu berakhir.

kosiya

(Orang Kaya yang kikir)
 
      Di desa sakkara, dekat Rajagaha, tinggalah orang yang sangat kaya tetapi kikir, bernama Kosiya. Ia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lain, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian paling atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.
      Suatu pagi, Sang Buddha dengan pengelihatan supranaturalnya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliayu mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut, dengan pentunjuk untuk membawa mereka ke vihsra Jetavana pada saat makan siang.
      Murid Utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan bathin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan beridiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
      Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya: “Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut.” Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakannya di panggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa istrinya pasti telah menaruh adonan terlalu banyak, maka ia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil.
      Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanaksn satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat dikeluarkan karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan kotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir berserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha.
      Maha Moggallana dengan kekuatan bathin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, unutk menghadap Sang Buddha. Disana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan kotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti.
      Keesokan sorenya, ketika para bhikkhu sedang bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelaluan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka atau kesejahteraan mereka”

kisah seekor induk babi muda

      Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda. Sang Buddha menjawab, “Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina di masa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan kotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.


      Suatu ketika, saat putri pergi ke kakus, sang putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai seekor babi betina. Ananda! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan.
      Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut :
      Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.
      Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan di dalam diri seseorang mengalir deras menuju obyek-obyek yang menyenangkan, maka gelombang pikiran yang penuh nafsu akan menyeret orang yang memiliki pandangan salah seperti itu.

culapanthaka

    (kisah seorang bikkhu yang sangat bodoh)
    Bendahara kerajaan di Rajagaha mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemui kakeknya mendengarkan kotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha.
    Culapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi karena pada penghidupan yang lampau pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka ia dilakhirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahapanthaka sangant kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna.
    Suatu waktu, Jivika datang ke vihara mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu yang ada, untuk berkunjung makan siang di rumahnya. Mahapanthaka, yang diberi tugas untuk memberitahu pada bhikkhu tentang undangan makan siang tersebut, mencoret Culapanthaka dari daftar undangan. Ketika Culapanthaka mengetahui hal itu dia merasa sangat kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai orang perumah tangga.
    Mengetahui keinginan tersebut, Sang Buddha membawanya dan menyuruhnya duduk di depan gandhakuti, kemudian Beliau memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka dan menyuruhnya untuk duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain itu. Pada waktu bersamaan dua harus mengulang kata “Rojaharanam” yang artinya “kotor”. Sang Buddha kemudian pergi ke tempat kediaman Jivika, menemui para bhikkhu.
    Culapanthaka mulai menggosok-gosok selembar kain tersebut, sambil mengucapkan 
    “Rajoharanam”. Berulang kali kain itu digosok dan berulang kali pula kata-kata 
    rojaharanam meluncur dari mulutnya.
    Berulang dan berulang kali.
    Karena terus digosok, kain tersebut menjadi kotor. Melihat perubahan yang terjadi pada kain tersebut, Culapanthaka tercenung. Ia segera menyadari ketidak kekalan segala sesuatu yang berkondisi.
    Dari rumaha Jivika, Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya mengetahui kemajuan Culapanthaka. Beliau dengan kekuatan supranatualnya menemui Culapanthaka, sehingga seolah-olah Beliau tampak duduk di depan Culapanthaka, dan berkata:
    “Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu; dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga, debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut seseorang dapat mencapai tujuannya dengan mencapai arahat”
    Culapanthaka mendengarkan pesan terseubut dan meneruskan bermeditasi. Dalam waktu yang singkat mata bathinnya terbuka dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, bersamaan dengan memiliki ‘pandangan terang analitis’. Maka Culapanthaka tidak lagi menjadi orang dungu.
    Di rumah Jivika, para umat akan menuang air sebagai telah melakukan perbuatan dana; tetapi Sang Buddha menutup mangkoknya dengan tangan dan berkata bahwa masih ada bhikkhu yang ada di vihara. Semuanya mengatakan bahwa tidak ada bhikkhu yang tertinggal. Sang Buddha menjawab bahwa masih ada satu orang bhikkhu yang ertinggal dan memerintahkan untuk menjemput Culapanthaka di vihara.
    Ketika pembawa pesan dari rumah jivika tiba di vihara, dia menemukan tidak hanya satu orang, tetapu ada seribu orang bhikkhu yang serupa. Mereka semua diciptakan oleh Culapanthaka, yang sekarang telah memiliki kemampuan bathin. Utusan tersebut kagun dan dia pulang kembali dan melaporkan hal ini kepada jivika.
    Utusan itu kembali ke vihara untuk kedua kalinya dan dipertintahkan untuk mengatakan bahwa Sang Buddha mengundang bhikkhu yang bernama Culapanthaka. Tetapi ketika dia menyampaikan pesan tersebut, seribu suara menjawab, “saya adalah culapanthaka” dengan binggung, dia kembali ke rumah jivika untuk kedua kalinya.
    Untuk ketigakalinya dia disuruh kembali ke vihara. Kali ini, dia diperintahkan untuk menarik bhikkhu yang dilihatnya pertama kali mengatakan bahwa dia adalah Culapanthaka. Dengan cepat dia memegangnya dan semua bhikkhu yang lain menghilang, dan Culapanthaka menemani utusan tersebut ke rumah Jivika.
    Setelah makan siang, seperti yang diperintahkan oleh Sang Buddha, Culapanthaka menyampaikan kotbah dhamma, kotbah tentang keyakinan dan keberanian, mengaum bagaikan rauangan seekor singa muda. Ketika masalah Culapanthaka dibicarakan di antara para bhikkhu, Sang Buddha berkata bhwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan mencapai tingkat kesucian arahat.

anathapindika

(Seorang hartawan yang menjadi miskin)
 
      Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha. Dia pergi ke vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia amembawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.
      Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapana, bathinnya tidak tergucang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali.”
      Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, mahluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut, dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.
      Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedangan yang belum dikembalikan kepada Anathapindika; delapan belas crores lainnya disembunyikannya oleh lelulur (nenek moyang) Anathapindika, dan lainnya yang buka milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan bathin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya.”
      Mahluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya. Ketika mahluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudera, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum kemudian Anathapindika membawa mahluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha.
      Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akubat dari perbuatan jahat untuk selamanya; tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang.”
      Mahluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah mendengar kotbah Dhamma tersebut berakhir.

Tuesday, March 15, 2011

kisah perbuatan lampau Sang Buddha

Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menarik perhatian para raksasa. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.

Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.

Mendengar Sang Buddha bersama para bhikkhu akan mengadakan muhibah ke negara tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi sungai Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu dalam setiap yojana.

Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju ke Vesali bersama lima ratus bikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.

Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju ke kota Vesali dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.

Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilahkan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan khusus untuk Beliau di pusat kota.

Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa melarikan diri.

Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.

Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.

Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para Pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari musibah dan sangat bersukacita. Mereka juga sangat berterimakasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari ketiga.

Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing - masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dll. dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu diantara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, ketika para manusia, dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada Beliau.

Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.

Kedua, ketika Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abidhamma di sana.

Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rajagaha diiringi raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari ke lima.

Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan selamai perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.

Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa, dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya." Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.

Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu, gurunya memerintahkan agar ia mendekati para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami 'Empat kesunyataan Mulia', mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.

Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu, maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan persembahan mewah, ia dihormati demikian tinggi, dan ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut :

Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil 
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar, 
maka hendaknya orang bijaksana 
melepaskan kebahagiaan yang kecil itu, 
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.



sumber : facebook.com/indonesian buddhist society