My Blog List

Sunday, March 6, 2011

ekapanna jataka



Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana di Negeri Utara, dan setelah dewasa mula-mula ia belajar Tiga Weda kemudian semua pelajaran lainnya di Takkasilā, dan selama beberapa waktu menempuh kehidupan duniawi.

Setelah orang tuanya meninggal, ia menjadi seorang petapa, menetap di Himalaya dan memperoleh kemampuan batin luar biasa dan pencapaian meditasi. Ia menetap di sana cukup lama, hingga kebutuhan akan garam dan kebutuhan hidup lainnya membawanya kembali ke tempat tinggal penduduk, dan ia tiba di Benares, tinggal di taman kerajaan.
Keesokan harinya ia berpakaian dengan penuh usaha dan kehati-hatian, dan dengan pakaian petapa yang terbaik ia pergi melakukan pindapata ke kota dan tiba di gerbang istana. Raja sedang duduk dan melihat Bodhisatta dari jendela, dan terlihat pada dirinya, bagaimana petapa tersebut bijaksana dalam hati dan jiwanya, memandang dengan penuh kepastian padanya, bergerak dengan langkah laksana langkah seekor raja singa, seakan dalam setiap langkah kakinya tersimpan satu kantong yang berisikan ratusan keping uang. “Jika kebaikan memang ada,” pikir raja tersebut, “ia pasti berada di dalam dada orang ini.”

Maka ia memanggil seorang pengawal istana, memintanya untuk mengundang petapa tersebut ke dalam istana. Pengawal tersebut menemui Bodhisatta dan, dengan penuh hormat, mengambil patta dari tangannya. “Ada apa, Tuan?” tanya Bodhisatta. “Raja mengundangmu dengan penuh hormat,” jawabnya. “Tempat tinggal saya adalah di Himalaya, dan saya bukan orang yang istimewa bagi raja.”

Pembawa pesan itu kembali dan melaporkan hal tersebut kepada raja. Berpikir bahwa ia tidak mempunyai seorang penasihat pribadi saat ini, raja meminta agar Bodhisatta dibawa masuk, dan Bodhisatta setuju untuk datang.
Raja menyapanya saat ia masuk dengan penuh kesopanan dan memintanya untuk duduk di sebuah singgasana emas di bawah payung kerajaan. Dan Bodhisatta dijamu dengan makanan yang awalnya dipersiapkan untuk disantap oleh raja sendiri.

Kemudian raja menanyakan tempat tinggal petapa tersebut, dan mengetahui bahwa ia berdiam di Himalaya.


“Kemanakah tujuanmu sekarang?”

“Dalam pencarian, Paduka, sebuah tempat tinggal selama musim hujan.”

“Mengapa engkau tidak menetap di taman saya saja?” saran raja. Kemudian, setelah mendapatkan persetujuan Bodhisatta, dan telah menyantap makanannya sendiri, raja pergi bersama tamunya menuju taman dan di sana terdapat sebuah tempat pertapaan yang dibangun dengan sebuah bilik untuk siang hari dan sebuah bilik untuk malam hari. Tempat tinggal ini dilengkapi dengan delapan perlengkapan petapa. Setelah menempatkan Bodhisatta di sana, raja menyerahkan tanggung jawab atas dirinya kepada penjaga taman dan kembali ke istana. Maka Bodhisatta menetap di taman kerajaan dan raja mengunjunginya dua hingga tiga kali sehari.

Raja mempunyai seorang putra yang kasar dan emosional, ia dikenal sebagai “Pangeran Jahat”, yang tidak bisa dikendalikan baik oleh ayah maupun para kerabatnya. Para anggota istana, para brahmana dan para penduduk, semua memberitahukan tentang kesalahan tindak tanduknya, namun semuanya sia-sia saja. Ia tidak memedulikan nasihat-nasihat mereka. Dan raja merasa bahwa harapan satu-satunya untuk mendapatkan kembali putranya adalah melalui petapa yang penuh kebaikan itu.

Maka sebagai kesempatan terakhir, ia membawa pangeran tersebut dan menyerahkannya untuk diurusi oleh Bodhisatta. Bodhisatta berjalan bersama pangeran tersebut di taman kerajaan hingga mereka tiba di sebuah tempat dimana tunas pohon nimba sedang tumbuh, yang terlihat hanyalah dua helai daun, satu pada suatu sisi, dan satu lagi di sisi lainnya.

“Cobalah sehelai daun pohon kecil ini, Pangeran,” kata Bodhisatta, “dan lihat seperti apa rasanya.”
Anak muda itu melakukan hal tersebut; namun tidak mungkin menempatkan daun itu dalam mulutnya, saat ia meludahkannya keluar dengan sebuah umpatan, ia mengeluarkannya dan meludah lagi untuk menghilangkan rasa itu dari mulutnya.

“Ada apa, Pangeran?” tanya Bodhisatta.

“Bhante, saat ini, pohon ini hanya menimbulkan kesan sebagai pohon beracun; namun jika dibiarkan tumbuh, akan menjamin kematian bagi banyak orang,” kata pangeran tersebut, kemudian mencabut dan menghancurkan pohon kecil yang sedang tumbuh itu di tangannya, sambil mengucapkan syair berikut ini : —

Jika racun tersembunyi dalam pohon kecil ini,
apa lagi yang akan ditunjukkan oleh pohon
yang telah tumbuh besar?

Kemudian Bodhisatta berkata, “Pangeran, takut tunas beracun ini akan tumbuh besar engkau mencabut dan menghancurkannya. Seperti apa yang engkau lakukan pada pohon itu, penduduk kerajaan ini, yang takut atas apa yang akan dilakukan oleh seorang pangeran yang kasar dan emosional jika ia menjadi raja, tidak akan menempatkanmu di takhta, melainkan mencabutmu seperti pohon nimba ini dan mengusirmu ke tempat pengasingan. Karena itu, ambillah pelajaran dari pohon ini dan sejak hari ini, tunjukkan kemurahan hati dan rasa cinta pada kebaikan yang berlimpah.”

Sejak saat itu suasana hati pengeran berubah. Ia menjadi rendah hati dan penuh kelembutan, serta murah hati dan berlimpah dalam kebaikan. Mematuhi nasihat Bodhisatta, setelah ayahnya meninggal dunia ia dinobatkan menjadi raja. Ia selalu melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, dan akhirnya meninggal dunia untuk terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Sumber : www.facebook.com/cerita buddhist



No comments:

Post a Comment