My Blog List

Tuesday, November 29, 2011

karma anak dan orang tua

Seorang mahasiswi menangis tersedu-sedu dihadapan dosen agama Buddha yang penuh kasih terhadapnya. Ia sedih, kecewa, dan agak tergoncang batinnya menghadapi kenyataan pahit yang harus diterimanya saat ini. Ia tidak menduga bahwa hubungan cinta yang telah dibinanya selama ini harus kandas di tengah jalan. Ia tidak menyangka bahwa calon mertuanya akan menolak dirinya sebagai menantu hanya karena ia mempunyai seorang ayah yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan. Ia sedih karena calon mertuanya beranggpan bahwa jika orangtuanya berkelakuan tidak baik, maka anaknya pasti mempunyai kelakuan yang tidak baik pula. Ia kecewa karena ia merasa bahwa anggapan itu tidak berlaku terhadap dirinya. Dengan penuh kesabaran, dosen agama Buddha tadi memberikan nasihat-nasihat yang ternyata dapat menghibur mahasiswi tersebut.

Sesungguhnya karma orang-tua tidak menurun kepada anaknya karena setiap makhluk membawa karmanya masing-masing. Namun, memang ada persamaan karma antara orangtua dan anak sehingga mereka bisa berkumpul dalam satu keluarga. S etiap makhluk yang akan bertumimbal lahir harus mempunyai getaran karma yang sama dengan orang tuannya. Jadi, pada saat mahasiswi tadi bertumimbal lahir melalui kandungan ibunya, ia mempunyai getaran karma yang sama pula. Jika ia mempunyai ayah yang berkelakuan tidak baik, maka ini merupakan buah dari karma buruk yangpernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau. Dengan demikian, ia tidak boleh membenci ayaknya. Ia tidak boleh menyalahkan ayahnya. Ia tidak boleh beranggapan bahwa ayahnyalah yang merupakan penyebab putushnya hubungan cointanya dengan teman kuliahnya itu.

Sesungguhnya, hubungan cintanya juga bisa putus diakibatkan oleh karma buruk lain yangpernah dilakulkannya pada kehidupan yang lampau.

Dalam kita suci Dhammapada Bab XXIII ayat 332, dikatakan:

“Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap petapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap para ariya (orang suci) juga merupakan kebahagiaan.”

Ayah dan ibu merupakan orang tua kita. Walau bagaimanapun buruknya sifat ayah dan ibu kita, mereka tetap orangtua kita. Sebagai anak, kita wajib menghormati dan menyayangi mereka. Jika mereka berkelakuan tidak baik, maka kita wajib berusaha untuk menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar. Memang ini bukan merupakan suatu tugas yang mudah, tetapi usaha kita lakukan dengan penuh pengorbanan pun tak akan sia sia.

Anak yang baik tidak akan menyalahkan orang lain bila ia menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Hendalnya ia menyadari bahwa penderitaan itu hanya datang kepada orang yang memang harus menerimanya. Ia akan menerima penderitaan itu dengan tabah walau tidakd apat dipungkiri bahwa pada saat itu pasti batinnya agak tergoncang.Namun, ia tidak akan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan menyadariu bahwa tak ada gunanya menyesali peristiwa yang telah terjadi. Jika hubungan cinta itu memang harus kandas di tengah jalan, maka hal ini tidka perlu terlalu ditangisi. Masih ada kirannya pemuda lain yang lebih baik dari dia. Masih ada calon mertua yang dapat mengerti keadaannya dan mau menerimanya sebagai menantu. Masih banyak orang tua yang tidak berpandang picik seperti tersebut diatas. Dan masih banyak orang tua yang yakin bahwa menantunya merupakan orang yang bnaik walaupun orangtuan menantunya berkelakuan tidak baik.

Mahasiswi di atas merupakan gasid yang baik. Ia dapat menjadi baik berkat pendidikan agama yang diperolehnya di bangku sekolah. Ia tekun belajar agama Buddha. Ia rajin mendengarkan dan berdiskusi Dharma dengan tokon-tokoh Buddhis. Ia senantiasa berusaha melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupannya sehari-hari. Ia senang berbuat amal sesuai denga kemampuannya. Jika kelak ia berumah tangga, ia telah bertekad untuk menjadi seorang isteri yang setia dan puas hanya dengan seorang suami serta senantiasa menghormati ayah dan ibu mertuanya sebagai dewa dan dewi. Ia yang telah terbiasa hidup sederhana itu bertekad untuk tidak menjadi isteri yangmaterialistis. Sesungguhnya, pemuda yang dapat memperisterinya itu akan bahagia. Dengan demikian, nyatalah bahwa dari orangtua yang berkelakuan tidak baik mungkin saja muncul anak-anak yang berkelakuan baik.

Dalam Dhammapada Bab III ayat 43, dikatakan:

“Bukan seorang ibu, ayah, maupun sanak keluarga lain yang dapat melakukan; melainkan pikiran sendiri yang diarahkan dengan baik yang akan dapat mengangkat derajat seseorang.”

(Dikutip dari Majalah Dhamma Cakku No.13/Tahun X/1989)




karaniya metta sutta

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya:
"Kemanakah Bhante akan pergi?".
Para bhikkhu itu menjawab:
"Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman".
Penduduk desa itu menyarankan:
"Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu".
Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi:
"Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana".
Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa.

Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu,
"Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak enak lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri".

Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi:
"Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini".

Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu. Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir:
"Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi". Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.
Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali:
"Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak enak lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana yah, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?".

Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.
Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek atau sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:
"Saudaraku, kamu sakit apa?".
"Saya sakit pilek".
"Saya batuk-batuk".
"Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan".
"Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan".
"Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan".
"Saudaraku, kita harus meninggalkan tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha".
Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:
"Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?".

Para bhikkhu menjawab:
"Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu amat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia".
"Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu".
"Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana".
"Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa "senjata". Dan sekarang kamu harus membawa "senjata" bila kamu kembali ke sana".
"Senjata apakah itu Yang Mulia?"
Sang Buddha lalu menjawab,
"Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi".

Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta:

KARANIYAMATTHAKUSALENA
YAN TAM SANTAM PADAM ABHISAMECCA
SAKKO UJU CA SUHUJU CA
SUVACO CASSA MUDU ANATIMANI

SANTUSSAKO CA SUBHARO CA
APPAKICCO CA SALLAHUKAVUTTI
SANTINDRIYO CA NIPAKO CA
APPAGABBHO KULESU ANANUGIDDHO

NA CA KHUDDAM SAMACARE KINCI
YENA VINNU PARE UPAVADEYYUM
SUKHINO VA KHEMINO HONTU
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA

YE KECI PANABHUTATTHI
TASA VA THAVARA VA ANAVASESA
DIGHA VA YE MAHANTA VA
MAJJHIMA RASSAKA ANUKATHULA

DITTHA VA YE VA ADDITTHA
YE CA DURE VASANTI AVIDURE
BHUTA VA SAMBHAVESI VA
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA

NA PARO PARAM NIKUBBETHA
NATIMANNETHA KATTHACI NAM KANCI
BYAROSANA PATIGHASANNA
NANNAMANNASSA DUKKHAMICCHEYYA

MATA YATHA NIYAM PUTTAM
AYUSA EKAPUTTAMANURAKKHE
EVAMPI SABBABHUTESU
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM

METTANCA SABBALOKASMIM
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM
UDDHAM ADHO CA TIRIYANCA
ASAMBADHAM AVERAM ASAPATTAM

TITTHANCARAM NISINNO VA
SAYANO VA YAVATASSA VIGATAMIDDHO
ETAM SATIM ADHITTHEYYA
BRAHMAMETAM VIHARAM IDHAMAHU

DITTHINCA ANUPAGAMMA
SILAVA DASSANENA SAMPANNO
KAMESU VINEYYA GEDHAM
NA HI JATU GABBHASEYYAM PUNARETI’TI


Inilah yang harus dikerjakan
oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.

Merasa puas, mudah disokong/dilayani
Tiada sibuk, sederhana hidupnya
Tenang inderanya, berhati-hati
Tahu malu, tak melekat pada keluarga.

Tidak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh Para Bijaksana
Hendaklah ia berpikir :
Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram,
Semoga semua makhluk berbahagia.

Makhluk hidup apa pun juga
Yang lemah dan kuat tanpa kecuali
Yang panjang atau besar
Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk.

Yang tampak atau tidak tampak
Yang jauh atau pun dekat
Yang terlahir atau yang akan lahir
Semoga semua makhluk berbahagia.

Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja.
Jangan karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain celaka.

Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran (kasih sayangnya) tanpa batas.

Kasih sayangnya ke segenap alam semesta
Dipancarkannya pikirannya itu tanpa batas
Ke atas, ke bawah dan kesekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan.

Selagi berdiri, berjalan atau duduk
Atau berbaring, selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini
Yang dikatakan : Berdiam dalam Brahma

Tidak berpegang pada pandangan salah (tentang atta/aku)
Dengan sila dan penglihatan yang sempurna
Hingga bersih dari nafsu indera
Ia tak akan lahir dalam rahim mana pun juga.

Selesainya Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha berkata:
"Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi".
Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan.

Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa "senjata" yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniya Metta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.
Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniya Metta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk.

Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.

Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan,
"Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan".
Mereka lalu mengembangkan Pandangan Terang.
Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:
"Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan".
Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.

Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:

"Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota dan menyerang mara dengan senjata kabijaksanaan"


buddha marah

Hiduplah seorang wanita yang selalu melafalkan nama Amitabha Buddha, sangat rajin dan melafalkan " Namo Amitabha Buddha" sebanyak tiga kali sehari. Walaupun dia selalu melakukan praktek ini selama lebih dari 10 tahun, dia masih sering berteriak dan memarahi orang lain sepanjang waktu. Dia mulai berlatih menggunakan dupa dan lonceng kecil.

Seorang teman ingin memberinya pelajaran dan tepat ketika si wanita itu hendak memulai pelafalannya, temannya tadi datang mengedor pintunya dan berseru: "Mbak Nuyen, Mbak Nuyen!".

Saat ini sebenarnya adalah waktunya untuk berlatih dan si wanita itu pun merasa kesal, tetapi ia berkata pada dirinya sendiri: "Saya harus berjuang melawan kemarahan saya, jadi saya akan mengabaikannya saja." Dan ia melanjutkan: "Namo Amitabha Buddha, Namo Amitabha Buddha ..."

Tetapi temannya itu terus berteriak memanggil namanya, dan ia menjadi lebih dan lebih memaksa.
Dia berjuang melawan itu dan bertanya-tanya apakah dia harus menghentikan pelafalan untuk membukakan pintu, tapi ia terus membaca: "Namo Amitabha Buddha, Namo Amitabha Buddha ..."

Laki-laki di luar mendengarnya dan melanjutkan: "Mbak Nuyen, Mbak Nuyen ..."

Maka si wanita itu tidak tahan lagi, melompat, membanting pintu dan pergi ke pintu gerbang dan berteriak: "Mengapa kamu harus bersikap seperti itu? Aku sedang melakukan praktek saya dan anda terus berteriak-teriak memanggil nama saya berulang-ulang!"

Pria itu tersenyum dan berkata: "Aku hanya memanggil nama Anda selama sepuluh menit dan kau begitu marah. Anda telah menyebut nama Buddha Amitabha selama lebih dari sepuluh tahun sekarang; coba bayangkan betapa marahnya dia sekarang!"


Sunday, August 14, 2011

Kisah Menteri Santati


Suatu ketika Menteri Santati berhasil kembali dari penumpasan pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi begitu bangga terhadapnya, memberi kekayaan dan kegemilangan kepada menterinya serta mengadakan pesta selama 7 hari dengan para gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari muda belia.
Pada hari ketujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta.
Santati menganggukkan badannya sebagai tanda memberi hormat kepada Sang Buddha.
Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum.
Lalu Sang Buddha berkata, "Ananda, menteri ini akan menemuiku hari ini dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran dia akan mencapai tingkat kesucian arahat dan kemudian dia akan meninggal dunia (parinibbana)".
Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka. Pada sore hari pestanya berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari.
Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri, selama seminggu gadis penari melakukan diet makan agar tampak menarik. Akan tetapi pada saat menari, dia terserang kejang-kejang dan pingsan. Akhirnya dia meninggal dunia dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu tertekan batinnya dan kecewa berat.
Pada saat itu ia memerlukan perlindungan dan teringat kepada Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikut-pengikutnya, dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah terjadi kematian gadis penarinya.
Dia berkata, "Bhante, tolong hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku".
Kepadanya Sang Buddha berkata, "Istirahatlah anak-Ku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat dalam samudra".
Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:
"Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi 'Kebebasan Mutlak' (nibbana)".
Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat kesucian arahat.
Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir, Santati berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, sekarang izinkanlah saya merealisasi 'Kebebasan Akhir' (parinibbana), karena saatnya telah tiba".
Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang setinggi tujuh pohon palm di angkasa dan di sana Santati bermeditasi dengan objek perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha.
Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, Menteri Santati telah merealisasi 'Kebebasan Akhir' (parinibbana) dengan berpakaian penuh tanda-tanda kebesaran, apakah dia seorang samana atau brahmana?"
Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, anak-Ku dapat disebut, baik seorang samana ataupun seorang brahmana".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 142 berikut:
Walau digoda dengan cara bagaimanapun, tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain, sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

Kisah Pilotikatissa Thera


Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilokatissa.
Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan dan pakaian. Namun pada suatu saat ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.
Ketika sampai di sana, timbul pertanyaan dalam hatinya, "Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu?"
Kemudian ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.
Dua atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu timbul kembali. Ia kemudian pergi ke pohon itu kembali dan bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.
Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemu gurunya (dianggap sebagai "guru", karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).
Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khandha (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon "guru".
Melihat hal itu bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: "Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu lagi?"
Kepada mereka ia menjawab: "Saat saya membutuhkan, saya akan pergi kepadanya, tapi saat ini saya sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya".
Saat mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilokatissa menghadap Sang Buddha.
Saat mereka tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, "Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong".
Akan tetapi Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Pilokatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya pada saat lalu, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilokatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki hubungan lagi dengan gurunya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144 berikut ini:
Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat, yang senantiasa waspada, bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti.
Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik, walaupun sekali saja merasakan cambukan segera menjadi bersemangat dan berlari cepat; demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, yang memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar, dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran, akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

Kisah Sirima


Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain betapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.
Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipun belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu.
Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, "Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!"
Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya.
Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivaka, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan burung hering.
Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari keempat jenazah Sirima yang cantik sudah tidak lagi cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang.
Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima.
Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka ia pun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima.
Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yang menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail, atau 500, atau 250, ataupun cuma-cuma.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin memgambil tubuhnya walaupun dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subjek dari kelapukan dan kehancuran".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 147 berikut:
Pandanglah tubuh yang indah ini, penuh luka, terdiri dari rangkaian tulang, berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan. Ia tidak kekal serta tidak tetap keadaannya.
Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

kisah uttara theri


Uttara Theri yang berusia 120 tahun, pada suatu hari ia berjalan kembali dari berpindapatta. Ia bertemu dengan seorang bhikkhu, dan memohon bhikkhu itu untuk menerima persembahan dana makanannya. Tanpa pertimbangan bhikkhu tersebut menerima semua dana makanannya, sehingga Uttara harus pergi tanpa membawa makanan sedikitpun. Hal yang sama terjadi dua hari berikutnya, sehingga selama tiga hari berturut-turut Uttara Theri tidak makan dan tubuhnya sangat lemas.
Pada hari keempat, ketika ia dalam perjalanan berpindapatta, ia bertemu dengan Sang Buddha di jalan yang sempit. Ia memberi hormat kepada Beliau, kemudian berjalan mundur. Pada saat ia berjalan mundur, secara tidak sengaja ia menginjak jubahnya sendiri dan kemudian terjatuh ke tanah dan kepalanya terluka.
Sang Buddha mendekati Uttara dan berkata, "Tubuhmu telah menjadi sangat tua dan lemah, akan segera hancur dan binasa".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 148 berikut:
Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah membusuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya, kehidupan ini akan berakhir dengan kematian.
Uttara Theri mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

Kisah Bhikkhu-bhikkhu Adhimanika


Setelah lima ratus bhikkhu menerima objek meditasi yang diberikan Sang Buddha, mereka pergi ke hutan. Di sana mereka melatih meditasi dengan bersemangat dan rajin sehingga mencapai "Penunggalan Kesadaran" (jhana). Setelah mencapai Jhana mereka berpikir bahwa mereka telah bebas dari hawa nafsu oleh karena itu mereka telah mencapai tingkat kesucian arahat.
Padahal kenyataannya, mereka hanya menilai dirinya sendiri berlebihan. Mereka pergi menjumpai Sang Buddha dengan maksud untuk memberitahukan tentang pencapaian ke-arahat-an mereka.
Ketika mereka tiba di gerbang luar vihara, Sang Buddha berkata kepada Y.A. Ananda, "Bhikkhu-bhikkhu itu tidak akan mendapat banyak manfaat apabila menemui-Ku sekarang, biarkan mereka pergi ke kuburan sekarang, baru kemudian menemui-Ku sesudahnya".
Kemudian Ananda memberitahukan pesan Sang Buddha kepada para bhikkhu, dan mereka merenung, "Sang Buddha mengetahui segalanya, Beliau pasti mempunyai beberapa alasan agar kita pergi ke kuburan terlebih dahulu".
Maka pergilah para bhikkhu tersebut ke kuburan.
Setelah tiba di kuburan, mereka melihat banyak mayat yang telah membusuk, kemudian mereka melihat dirinya sendiri bagaikan kerangka dan tulang belulang, dan ketika mereka melihat mayat-mayat yang baru, mereka menyadari bahwa mereka masih memiliki hawa nafsu.
Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau melihat dan muncul di hadapan para bhikkhu.
Kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu! Dengan melihat tulang belulang yang telah memutih, apakah pantas mempunyai hawa nafsu dalam dirimu?"
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 149 berikut:
Bagaikan labu yang dibuang pada musim rontok, demikian pula halnya dengan tulang-tulang yang memutih ini. Kesenangan apakah yang didapat dari memandangnya?
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

Kisah Rupananda Theri (Janapadakalyani)


Janapadakalyani adalah puteri dari Gotami, ibu tiri Pangeran Siddhattha. Karena sangat cantik Puteri Janapadakalyani dikenal dengan nama Rupananda. Dia menikah dengan Nanda, saudara sepupu Pangeran Siddhattha.
Pada suatu hari dia merenung, "Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an. Rahula, anak dari kakak saya, suami saya, ibu saya, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!"
Setelah merenung demikian dia pergi ke vihara untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhuni, bukan karena keyakinan tetapi hanya meniru orang lain dan merasa kesepian tinggal seorang diri.
Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidak-kekalan, sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan tetapi karena begitu banyak orang memuji Sang Buddha, akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha bersama para bhikkhuni.
Ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat melekat terhadap tubuhnya dan sangat sombong akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya".
Kemudian Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik, berusia kira-kira 16 tahun dan duduk di dekatnya. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda. Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, Rupananda merasa dirinya hanyalah seekor gagak yang tua dan jelek dibandingkan dengan anak gadis itu, yang seperti seekor angsa putih. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut yang cantik jelita. Tetapi ketika Rupananda memperhatikan sungguh-sungguh, dia terkejut karena anak gadis tersebut bertambah tua berusia 20, terus menerus ia memperhatikan anak gadis yang berada di samping Sang Buddha itu bertambah tua dan menjadi sangat tua. Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya tua, dan sangat tua.
Rupananda menyadari bahwa dengan timbulnya bayangan baru, bayangan lama lenyap, dan dia mulai menyadari dari proses perubahan yang terus menerus dan kelapukan tubuh. Dengan kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya berkurang. Pada saat itu bayangan anak gadis yang ada di dekat Sang Buddha telah berubah menjadi wanita jompo, yang tidak dapat mengatur gerak tubuhnya lagi, terjatuh. Akhirnya bayangan wanita itu meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu.
Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di sini di hadapan mataku. Sama halnya dengan tubuhku akan menjadi tua dan rusak; akan merupakan sarang penyakit dan juga akan meninggal dunia".
Kemudian Rupananda menyadari akan corak sebenarnya kenyataan kelompok kehidupan. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari kelompok kehidupan (khanda) dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 150 berikut:
Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang yang dibungkus oleh daging dan darah. Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian, kesombongan dan iri hati.
Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

kisah ratu mallika


Suatu hari, Mallika pergi ke kamar mandi mencuci wajah, kaki dan tangannya. Anjing peliharaannya juga masuk, ketika dia membungkuk untuk mencuci kakinya, anjing itu mencoba berhubungan kelamin dengannya, dan ratu merasa terhibur dan senang.
Raja melihat kejadian aneh lewat jendela kamarnya, ketika ratu masuk, dia berkata dengan marah, "Oh kamu wanita hina! Apa yang kamu lakukan dengan anjing itu di kamar mandi? Jangan menyangkal apa yang saya lihat dengan mataku sendiri".
Ratu menjawab bahwa dia hanya mencuci muka, tangan dan kakinya, tidak melakukan kesalahan apapun.
Kemudian dia melanjutkan, "Tetapi, ruangan itu sangat aneh. Jika seseorang masuk ke ruang itu, bagi orang yang melihat dari jendela ini akan muncul menjadi dua gambaran. Jika anda tidak mempercayaiku, Raja, silahkan masuk ke ruangan itu dan saya akan melihat lewat jendela ini".
Raja pergi ke kamar mandi. Ketika dia keluar, Mallika bertanya kepada raja mengapa dia berlaku tidak pantas dengan seekor kambing betina di kamar itu. Raja menyangkal, tetapi ratu bersikeras bahwa dia melihat mereka dengan mata sendiri. Raja kebingungan tetapi seperti orang tolol dia menerima penjelasan dari ratu dan menyimpulkan bahwa kamar mandi itu benar-benar sangat aneh.
Sejak saat itu, ratu sangat menyesal karena telah berbohong pada raja dan telah kurang ajar menuduhnya atas kelakuannya yang tidak pantas dengan seekor kambing betina. Kelak, walaupun hampir meninggal dunia, dia melupakan kemurahan hati yang besar tiada bandingannya, yang telah diberikan kepada suaminya, dan hanya mengingat bahwa dia telah bersikap tidak jujur terhadap suaminya. Sebagai akibat dari perbuatannya, setelah meninggal dunia dia dilahirkan di alam neraka (niraya). Setelah pembakaran jenazahnya usai, raja bertanya kepada Sang Buddha, di mana dia dilahirkan kambali. Sang Buddha ingin menunda perasaan raja, dan juga tidak ingin raja berkurang keyakinannya terhadap Dhamma. Beliau mengalihkan pertanyaan itu, bahwa tidak seharusnya pertanyaan itu ditanyakan kepada Beliau sekarang ini sehingga Raja Pasenadi lupa bertanya pada Sang Buddha.
Setelah tujuh hari di alam neraka (niraya), ratu dilahirkan kembali di Surga Tusita. Pada saat itu, Sang Buddha pergi ke istana Raja Pasenadi untuk menerima dana makanan. Beliau berharap dapat beristirahat di bangsal kereta tempat kereta kerajaan disimpan. Setelah mempersembahkan dana makanan, raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana Ratu Mallika dilahirkan kembali.
Dan Sang Buddha menjawab "Mallika telah dilahirkan di Surga Tusita".
Mendengar hal ini raja sangat gembira dan berkata, "Dimana lagi dia dapat dilahirkan? Dia selalu berpikir tentang perbuatan baik, selalu berpikir apa yang akan dipersembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante, sekarang ia telah pergi, saya, murid-Mu yang rendah ini, hampir tidak tahu apa yang harus dikerjakan".
Kepada raja Sang Buddha berkata, "Lihat pada kereta ayahmu dan kakekmu, semua ini tergeletak sia-sia, sama halnya seperti tubuhmu yang menjadi sasaran kematian dan kerusakan. Hanya Dhamma yang mulia, yang tidak menjadi sasaran kehancuran".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 151 berikut:
Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh ini akan menjadi tua. Tetapi "Ajaran" (Dhamma) orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

Kisah "Kata-kata Kebahagiaan Sang Buddha"


Dua syair ini, syair 153 dan 154 Kitab Suci Dhammapada, adalah ungkapan tulus dan mendalam dari kebahagiaan yang dirasakan Sang Buddha pada saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Syair-syair ini diulang di Vihara Jetavana atas permintaan dari Yang Ariya Ananda.
Pangeran Siddhattha, dari keluarga Gotama, anak dari Raja Suddhodana dan Ratu Maya dari kerajaan suku Sakya, meninggalkan keduniawian pada usia 29 tahun dan menjadi pertapa untuk mencari Kebenaran (Dhamma).
Selama 6 tahun Beliau mengembara di Lembah Gangga, menemui pemimpin-pemimpin agama yang terkenal, belajar ajaran dan metodenya. Beliau hidup dengan keras dan menyerahkan dirinya pada peraturan pertapaan yang keras. Tetapi ia merasa semua latihan itu tidak berguna.
Akhirnya, Beliau memutuskan untuk menemukan kebenaran dengan jalannya sendiri, dan menghindari dua jalan ekstrim dari pemuasan kenikmatan yang berlebihan dan penyiksaan diri sendiri. Beliau menemukan "Jalan Tengah", yang menuju kebebasan mutlak, nibbana. Jalan Tengah ini adalah jalan mulia berfaktor delapan, yaitu: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Mata pencaharian Benar, Daya-upaya Benar, Kesadaran Benar, dan Konsentrasi Benar.
Pada suatu sore, duduk di bawah pohon Bodhi, di tepi Sungai Neranjara, Pertapa Siddhattha Gotama mencapai "Penerangan Sempurna" (Bodhi-nana atau Sabbannutanana) pada usia tiga puluh lima tahun. Pada saat malam jaga pertama, Siddhattha mencapai kemampuan batin pengetahuan kelahiran-Nya sendiri yang lampau (Pubbenivasanussati-nana). Pada saat malam jaga kedua, Beliau mencapai kemampuan batin pengetahuan penglihatan tembus (Dibbacakkhu-nana). Kemudian pada malam jaga ketiga, Beliau memahami hukum sebab akibat yang saling bergantungan (Patticcasamuppada) dalam hal kemunculan (Anuloma) demikian pula pengakhiran (Patiloma).
Menjelang fajar, Siddhattha Gotama dengan kemampuan akal-budinya, dan pandangannya yang terang mampu menembus pengetahuan "Empat Kebenaran Mulia". Empat Kebenaran Mulia adalah kebenaran mulia tentang penderitaan (Dukkha Ariya Sacca), kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan (Dukkha Samudaya Ariya Sacca), kebenaran mulia tentang akhir penderitaan (Dukkha Nirodha Ariya Sacca), dan kebenaran mulia tentang jalan menuju akhir penderitaan (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariya Sacca).
Terdapat juga dalam diri Beliau, dengan segala kemurniannya, pengetahuan tentang keberadaan "kebenaran mulia" (Sacca-nana), pengetahuan tentang perlakuan yang diharapkan terhadap "kebenaran mulia" itu (Kicca-nana) dan pengetahuan tentang telah dipenuhinya perlakuan yang diharapkan terhadap "kebenaran mulia" itu (Kata-nana), dengan demikian Beliau mencapai "Sabbannuta-nana" (Bodhi-nana) dari seorang Buddha. Sejak saat ini Beliau dikenal sebagai Buddha Gotama.
Dalam hal ini, perlu dicatat jika "Empat Kebenaran Mulia", dengan tiga aspek tersebut di atas (jadi keseluruhan ada 12 cara) telah benar-benar jelas bagi Beliau, barulah Sang Buddha mengumumkan kepada umat manusia, para dewa, dan para brahma, bahwa Beliau telah mencapai "Penerangan Sempurna", dan menjadi seorang "Buddha".
Pada saat pencapaian tingkat ke-Buddha-an, Beliau membabarkan syair 153 dan 154 berikut ini:
Dengan melalui banyak kelahiran aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tidak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.
O, pembuat rumah, engkau telah ku lihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiangmu belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai "Keadaan Tak Berkondisi" (Nibbana). Pencapaian ini merupakan akhir daripada nafsu keinginan.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

VĀNARINDA JĀTAKA


Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seekor kera. Setelah dewasa, bentuk tubuhnya sebesar anak kuda yang dilahirkan oleh kuda betina, dan ia sangat kuat. Ia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai, di tengah sebuah pulau yang ditumbuhi dengan pohon mangga dan sukun, serta pohon buah lainnya. Di tengah sungai, antara separuh bagian pulau dan pinggir sungai itu, terdapat sebuah batu besar yang menyendiri muncul di permukaan air. Karena sekuat gajah, Bodhisatta selalu meloncat dari pinggir sungai ke batu ini, kemudian ke sisi pulau tersebut. Di sisi pulau ini, ia akan mengisi perutnya dengan buah-buahan yang tumbuh di sisi pulau itu. Kemudian kembali di sore harinya dengan cara yang sama seperti saat ia datang. Demikianlah pola hidupnya dari hari ke hari. Pada masa itu, hiduplah seekor buaya dan pasangannya di sungai tersebut; buaya betina yang sedang mengandung bayi buaya tersebut, selalu melihat Bodhisatta saat ia pergi ke sana kemari, menaruh minat untuk makan jantung kera tersebut.
Maka ia memohon tuannya untuk menangkap kera tersebut untuknya. Berjanji untuk memenuhi keinginan buaya betina itu, ia pergi dan mengambil tempat di atas batu itu; bermaksud untuk menangkap kera tersebut saat ia akan pulang ke rumah di sore harinya.
Setelah menjelajahi pulau tersebut sepanjang hari, Bodhisatta melihat dengan cermat ke batu besar itu di sore harinya, dan merasa heran mengapa batu itu berada tinggi di atas air. Ia selalu menandai dengan tepat ketinggian air di sungai dan batu di sungai itu. Saat melihat walaupun ketinggian air tidak berubah, batu itu terlihat lebih tinggi di atas permukaan air, ia merasa curiga kalau buaya mungkin bersembunyi di sana untuk menangkapnya. Untuk mengetahui kebenarannya, ia berseru, seakan-akan menyapa batu tersebut, “Halo, Batu!” dan karena tidak ada balasan, ia berteriak tiga kali, “Halo, Batu!” Karena batu itu tetap diam, kera itu berseru, “Mengapa, Batu temanku, engkau tidak menjawab panggilanku hari ini?”
“Oh!” pikir buaya tersebut, “batu ini mempunyai kebiasaan untuk menjawab sapaannya. Saya harus mewakili batu untuk menjawab hari ini.” Karena itu, ia menjawab, “Ya, Kera; ada apa?” “Siapakah engkau?” tanya Bodhisatta. “Saya adalah buaya.” “Untuk apa engkau duduk di atas batu itu?” “Untuk menangkap dan menyantap jantungmu.” Karena tidak ada jalan kembali yang lain, satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah dengan mengecoh buaya tersebut. Maka Bodhisatta berseru, “Tidak ada cara lain selain menyerahkan diriku padamu. Buka mulutmu dan tangkap aku saat aku meloncat.”
Satu hal yang harus diketahui bahwa saat buaya membuka mulutnya, mata mereka akan terpejam. Maka saat buaya tanpa curiga membuka mulutnya, matanya terpejam. Ia menanti di sana dengan mata tertutup dan rahang terbuka. Melihat hal itu, kera yang cerdik itu melompat ke atas kepala buaya dan secepat kilat mencapai pinggir sungai. Ketika kecerdikan tindakannya disadari oleh buaya, ia berkata, “Kera, ia yang di dunia ini memiliki empat kualitas melampaui musuh-musuhnya. Dan kamu, saya duga, memiliki keempat hal tersebut.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :

Siapa pun yang, wahai Raja Kera, seperti dirimu,
memadukan ucapan benar, kebijaksanaan, semangat dan pelepasan,
dapat melihat musuh-musuhnya dan menemukan jalan membebaskan diri.
Dengan pujian ini terhadap Bodhisatta, buaya itu kembali ke tempat tinggalnya sendiri.

sumber : kisah buddhishttp://www.facebook.com/note.php?note_id=10150749313490384

Kisah Putra Mahadhana


Putra Mahadhana tidak belajar ketika ia masih berusia muda, ketika menjelang dewasa dia menikah dengan putri orang kaya. Seperti dia keadaannya, istrinya juga tidak berpendidikan. Ketika orang tua kedua pihak meninggal dunia, mereka mewarisi 80 nilai mata uang dari masing-masing pihak dan menjadi sangat kaya. Tetapi mereka berdua bodoh, hanya tahu menghabiskan uang dan tidak tahu bagaimana menyimpannya atau melipat-gandakannya. Mereka hanya makan, minum dan bersenang-senang, menghabiskan uang mereka dengan sia-sia. Ketika mereka telah menghabiskan semua uangnya, mereka menjual ladang mereka dan kebun serta akhirnya rumah mereka. Kemudian mereka menjadi sangat miskin dan tidak berguna. Karena tidak tahu cara mencari nafkah, mereka harus mengemis.

Suatu hari, Sang Buddha melihat anak orang kaya ini bersandar di dinding vihara, mengambil sisa makanan yang diberikan oleh para samanera. Melihat itu Sang Buddha tersenyum.
Yang Ariya Ananda bertanya kepada Sang Buddha mengapa Beliau tersenyum.
Sang Buddha menjawab, "Ananda, lihat kepada putra orang kaya ini, dia hidup dengan tidak berguna dan mempunyai kehidupan yang tidak bertujuan. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada tahap pertama kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya yang teratas, atau apabila dia belajar menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang arahat dan istrinya akan menjadi seorang anagami. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada tahap kedua kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya tingkat kedua; apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang anagami dan istrinya menjadi seorang sakadagami. Apabila dia belajar menjaga kekayaannya pada tahap ketiga kehidupannya, dia akan menjadi orang kaya tingkat ketiga; atau apabila dia menjadi seorang bhikkhu, akan menjadi seorang sakadagami dan istrinya akan menjadi seorang sotapanna. Karena dia tidak berbuat apa-apa dalam tiga tahap kehidupannya dia kehilangan kesempatan mencapai 'Jalan dan Hasil Kesucian' (Magga-Pahala)".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 155 dan 156 berikut:
Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya.
Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:

Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.

Wednesday, July 13, 2011

Menghadapi Stress dalam agama buddha!



Kemajuan jaman ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi ia memberikan kemudahan hidup bagi masyarakat yang telah siap sehingga dapat memanfaatkannya. Di sisi yang lain sesungguhnya ia pun dapat memberikan akibat negatif untuk mereka yang belum siap mental menghadapi perubahan lingkungan yang sedemikian cepat. Ada tuntutan-tuntutan jaman dan konflik-konflik yang harus dihadapi seseorang untuk memenuhi tuntutan jaman itu akhirnya dapat menjerumuskan orang yang lemah pengertian batinnya pada kondisi stress.
Hakekat dari pengertian batin sebagai bekal yang paling pokok dalam menghadapi dampak negatif kemajuan jaman ini adalah memiliki kemampuan melihat hidup sebagaimana adanya, bahwa hidup tidak kekal dan hanyalah proses belaka. Pengertian ini biasanya telah dimengerti oleh hampir setiap orang secara teoritis tetapi pada kenyataannya orang jarang siap mental bila menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
Dalam usaha menyesuaikan antara pengertian batin (baca: teori) yang dimiliki dengan penerapannya pada kehidupan yang sesungguhnya inilah peranan Agama Buddha diperlukan. Agama Buddha adalah gabungan antara tradisi penghormatan kepada Sang Guru Agung, Buddha Gotama, dengan Ajaran Luhur Sang Buddha yang berisikan kiat-kiat untuk menghadapi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan tujuan Agama Buddha secara umum adalah agar orang yang mengikuti dan melaksanakan Ajarannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi, surgawi dan sebagai tujuan tertinggi adalah tercapai kebebasan mutlak yaitu Nibbana (=Nirwana) sebagai Tuhan Yang Mahaesa dalam pengertian Agama Buddha.
PEMBAHASAN
Pengertian batin untuk melihat hidup sebagaimana adanya ternyata lebih mudah diucapkan dan dinasehatkan kepada orang lain daripada untuk membantu diri kita sendiri dalam mengatasi kenyataan hidup yang kadang tidak sesuai dengan harapan. Bila menjumpai orang lain yang sedang menderita, kita akan lebih mudah menjadi penasehat yang tampaknya amat bijaksana untuk membantu orang tersebut agar mampu menerima kepahitan hidup. Sebaliknya, bila tiba giliran kita yang menerima penderitaan akibat perubahan yang tidak diinginkan, kadang nasehat tulus dari seorang kawan dapat dianggap sebagai pelecehan atas kondisi yang sedang kita alami.
Untuk mengubah pengertian benar yang masih teoritis menjadi praktis itulah Sang Buddha dalam berbagai kesempatan sepanjang hidup Beliau telah menjelaskannya kepada para umatNya tentang tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Bila tahapan ini diikuti sungguh-sungguh maka hasil nyata yang dapat dialami sebagai awal pencapaian adalah hidup bahagia dan bebas dari stress. Kebahagiaan awal ini kemudian dapat dilanjutkan untuk dapat mencapai bentuk-bentuk kebahagiaan yang lebih tinggi sehingga akhirnya tercapailah kebahagiaan tertinggi yaitu Tuhan Yang Mahaesa (=Nibbana/Nirwana).
Secara ringkas, tahapan-tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
TAHAP PERTAMA :
SUMBER STRESS ADALAH KEINGINAN
Manusia hidup pasti tidak akan pernah terlepas dari keinginan. Memiliki keinginan adalah wajar sejauh kita tidak menjadi budak keinginan kita sendiri. Oleh karena itu, keinginan dapat menjadi salah satu sumber stress. Stress dapat timbul bila orang bersikap terlalu kaku pada keinginannya sendiri tanpa memiliki kesadaran bahwa kadang orang harus menyesuaikan diri antara keinginan dengan kenyataan yang dihadapi. Dengan kata lain, orang sering tidak siap dan tidak berkeinginan menghadapi perubahan. Padahal, setiap saat dan di setiap tempat ada kemungkinan orang akan mengalami perubahan. Perubahan dalam hidup ini dapat merupakan perubahan ke arah yang menggembirakan ataupun sebaliknya. Menghadapi perubahan yang menggembirakan, orang tidak akan mempermasalahkan seperti bila sedang menghadapai perubahan yang tidak menyenangkan. Dalam masalah ini, perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang membuat orang tidak bahagia karena tidak sesuai dengan keinginannya. Perubahan dapat dirasakan mengarah pada hal yang tidak membahagiakan karena disebabkan oleh niat orang untuk tidak ingin berkumpul dengan yang tidak disenangi dan berpisah dengan yang dicinta. Perubahan ini terjadi dalam bentuk yang seluas-luasnya, misalnya dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan benda maupun dengan suasana serta masih banyak yang lainnya. Stress muncul karena orang tidak ingin melihat perubahan ke arah yang tidak menggembirakan itu terwujud sebagai kenyataan. Orang bahkan ingin memaksakan kenyataan seperti keinginannya. Tentunya hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi.
Pada dasarnya terdapat dua macam keinginan yang dominan dalam kehidupan ini yaitu ingin selalu bersama dengan hal-hal atau kondisi yang menyenangkan dan yang lainnya adalah ingin tidak pernah menjumpai hal-hal atau kondisi yang tidak menyenangkan. Tentu saja bila kedua macam keinginan ini dapat terpenuhi maka bahagialah kehidupan orang tersebut. Namun, karena hidup selalu berubah maka orang kadang, kalau tidak dapat dibilang sering, mengalami kekecewaan. Bila kekecewaan ini bertambah banyak kuantitas maupun kualitasnya maka stress dan akibat-akibat negatif lainnya akan muncul.
Dewasa ini masalah stress dan akibatnya serta juga cara-cara menanggulanginya telah ramai dibicarakan di seluruh dunia. Banyak ahli menuliskan pendapatnya tentang stress. Salah satu diantaranya adalah Peter G. Hanson. Menurut hasil penelitian Hanson, beberapa di antara sumber stress dalam masyarakat adalah terutama karena memiliki kondisi yang tidak seimbang pada bidang-bidang keuangan, pribadi, kesehatan dan pekerjaan. Hanson mengartikankeuangan sebagai kondisi memiliki ketrampilan kerja yang dapat dijual, memiliki cukup uang untuk mencapai tujuan, dan jaminan keuangan jika nanti terserang penyakit, resesi, atau kehilangan pekerjaan. Pribadi adalah berarti memiliki teman sejati (tidak perlu banyak) dan keluarga, misalnya perkawinan atau hal yang serupa. Kesehatan yang dimaksudkan adalah kesehatan lahir batin yang dinyatakan oleh dokter dan bukan pendapat pribadi. Sedangkanpekerjaan berarti adalah tampil efisien dengan integritas dan mendapatkan rasa hormat dari lingkungan, dalam hal ini apabila sebagai seorang pelajar berarti segi pendidikan.
Bila orang mengalami perubahan atau kegagalan pada salah satu atau lebih dari keempat hal di atas maka ia memiliki potensi untuk mengalami stress, kecuali bila pengertian batinnya telah matang.
TAHAP KEDUA :
KEINGINAN DAPAT DIKENDALIKAN
Apabila sumber stress diketahui maka sesungguhnya jalan untuk mengatasinya telah terjawab setengahnya. Telah disadari bahwa keinginan yang tidak fleksibel justru akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang stress. Semakin kukuh keinginan seseorang, semakin besar pula kemungkinan stress yang akan dihadapinya. Untuk itulah, orang perlu memiliki wawasan berfikir bahwa dalam hidup ini sering keinginan tidak dapat menjadi kenyataan sedangkan kenyataan tidak jarang amat berbeda dari keinginan yang dimiliki. Wawasan ini berguna untuk melunakkan keinginan sehingga akhirnya dapat diubah dan disesuaikan dengan kenyataan. Bila keinginan telah sesuai dengan kenyataan maka stress pun akan dapat dihalau jauh-jauh dari hidup ini.
TAHAP KETIGA :
CARA MENGENDALIKAN KEINGINAN
Untuk mengendalikan keinginan agar stress dapat diusir dari kehidupan ini, ada beberapa langkah dalam Agama Buddha yang harus ditempuh, yaitu:
a. Kerelaan
Dalam Agama Buddha, kerelaan atau keikhlasan meliputi dua macam yaitu kerelaan materi dan non-materi. Kerelaan materi akan lebih mudah dilakukan karena lebih kelihatan secara indriawi. Kerelaan materi juga menjadi awal untuk mencapai tahap yang lebih tinggi lagi. Kerelaan materi dapat berbentuk bantuan sandang, pangan, papan, obat-obatan maupun keuangan.
Kerelaan non-materi atau kerelaan batin agak lebih sulit dilakukan. Kerelaan non-materi dapat dikatakan sebagai bentuk kerelaan yang lebih tinggi daripada kerelaan materi. Kerelaan ini membutuhkan sikap mental untuk tidak mementingkan diri sendiri. Memiliki sikap mental mengharapkan semoga semua makhluk hidup berbahagia. Memperhatikan sekeliling dan siap membantu mereka dengan tenaga, ucapan maupun pikiran yang dimiliki. Beberapa bentuk kerelaan non-materi adalah nasehat, pengendalian diri dan peka pada kondisi lingkungan.
Melaksanakan kedua bentuk kerelaan di atas secara bersama-sama akan menumbuhkan kebahagiaan dalam hati si pelaku. Perasaan menjadi lebih ringan dan bahagia karena mempunyai ingatan bahwa dirinya telah mampu mengisi kehidupan ini dengan sesuatu yang berguna yaitu ‘melakukan perbuatan baik’ kepada fihak lain secara aktif. Kebahagiaan yang muncul karena orang telah mampu mengatasi dirinya ataupun keinginannya sendiri untuk mengembangkan rasa kebersamaan di jaman orang tidak lagi terlalu memperhatikan lingkungannya. Perasaan ini akan menambah semangat hidup dan ketenangan batin serta dapat membebaskan diri dari stress.
b. Kemoralan
Kemoralan adalah usaha mencegah berkembangnya bahkan -kalau dapat- menghilangkan perbuatan atau kebiasaan buruk yang telah dimiliki dan berusaha agar diri sendiri tidak melakukan keburukan yang telah dilakukan oleh orang lain.
Kemoralan juga akan memberikan ketenangan batin karena kemoralan menjaga segala perbuatan yang dilakukan lewat badan, ucapan dan pikiran agar ‘terbebas dari kesalahan’. Manusia pada dasarnya berhasrat untuk melaksanakan segala bentuk keinginannya baik keinginan luhur maupun tidak baik. Namun dengan pengertian akan kemoralan maka orang kemudian akan mampu memilih perbuatan yang pantas dilakukan dari hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan maupun ukuran kemoralan yang lainnya. Semakin tepat pilihannya, semakin diterima pula seseorang dalam lingkungannya, semakin besar pula keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia ‘terbebas dari kesalahan’.
Bila keinginan telah terbiasa dikendalikan, maka bila dalam kehidupan ini orang menjumpai kenyataan yang bertentangan dengan keinginannya, ia akan dengan lapang dada dan penuh pengertian akan mampu menerima kenyataan tersebut. Ia tenang menghadapi kenyataan.
Dalam pengertian Agama Buddha, apabila kerelaan adalah unsur aktif untuk berbuat kebaikan maka kemoralan adalah unsur negatif yaitu mencegah kejahatan. Kedua unsur ini masing-masing bekerja aktif untuk mengendalikan keinginan seseorang, menundukkan keinginan seseorang. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena mereka bekerja saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang sama, hidup bahagia dan bebas dari stress sebagai awal pencapaian yang lebih tinggi. Dengan demikian, umat Buddha selalu dianjurkan untuk melaksanakan kedua hal pokok ini.
Dalam menyimpulkan hasil penelitiannya Dr. Claire Weekes menyatakan bahwa menganut salah satu agama tertentu dapat mencegah serta mengatasi stress disamping memiliki pekerjaan yang sesuai dan keberanian dalam menghadapi resiko hidup.
c. Ketenangan batin
Langkah yang ketiga ini digunakan untuk mengatasi stress langsung dari sumbernya yaitu pikiran. Dalam pikiran itulah terletak bermacam-macam keinginan. Ketenangan batin dicapai melalui latihan meditasi. Meditasi dapat digunakan untuk mengendapkan dan menyusun segala bentuk keinginan dalam latihan berpikir dengan benar. Manusia mampu melatih setiap gerakan badan dan ucapan sesuai dengan kemauan, demikian pula terhadap pikiran. Sarana melatih pikiran itulah yang disebut dengan meditasi. Meditasi mengarahkan batin seseorang untuk dapat menyadari bahwa hidup adalah saat ini, bukan masa lalu maupun masa yang akan datang. Pada masa lalu orang pernah hidup tetapi sudah tidak hidup, di masa datang orang akan hidup tetapi belum hidup; di masa ini, saat inilah orang hidup dan sedang hidup. Bila batin telah mencapai tahap ini, batin akan mampu memisahkan antara keinginan yang diperlukan saat ini dari keinginan yang dapat ditunda atau bahkan keinginan yang perlu dihilangkan. Dengan demikian, maka orang akhirnya dapat menundukkan keinginannya sendiri dan terbebaslah ia dari stress.
Pada hakekatnya meditasi adalah menyadari segala sesuatu yang sedang dilakukan, diucapkan dan terutama segala yang dipikirkan. Meditasi bukanlah berdoa, mengatur pernafasan maupun mengosongkan pikiran. Dalam melaksanakan meditasi dibutuhkan beberapa persyaratan dasar yaitu posisi tubuh yang benar, waktu meditasi yang sesuai, tempat meditasi yang memenuhi persyaratan, obyek meditasi yang cocok dan juga guru yang mampu mengarahkan meditasi sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Bila ketenangan batin tercapai maka stress pun tidak mempunyai kesempatan muncul dalam kehidupan ini. Dr. Vernon Coleman juga mengarahkan para pasien stress-nya untuk melakukan relaksasi terutama dengan meditasi walaupun tidak harus mengikuti satu bentuk institusi tertentu.
d. Kebijaksanaan
Kemampuan meditasi bukan hanya untuk menghasilkan ketenangan batin saja tetapi dapat dikembangkan ke arah pengertian batin yang hendak dicari sebagai obat tertinggi dalam menanggulangi stress.
Menurut Sang Buddha, ada dua macam kebijaksanaan yaitu kebijaksanaan duniawi yang berupa teori dan kebijaksanaan mutlak yaitu tercapainya tujuan tertinggi dalam Agama Buddha, Nibbana/Nirwana. Kebijaksanaan duniawi adalah pengertian dasar bersifat filosofis dan teoritis untuk mendorong pelaksanaannya agar orang dapat membuktikan kebenarannya. Apabila telah dilaksanakan maka setahap demi setahap orang akan mendekati tujuan akhir yaitu kebijaksanaan mutlak.
Pencapaian kebijaksanaan mutlak dengan melatih ketenangan batin berpandangan terang. Sasaran latihan ketenangan batin tahap akhir ini adalah agar orang setelah mampu memisahkan antara keinginan yang pokok dan sampingan, kini di arahkan untuk menyadari bahwa keinginan itulah yang menjadi dasar ketidakpuasan dalam hidup ini. Keinginan itu pulalah yang menjadi salah satu sebab munculnya stress dalam hidup ini. Sedangkan sumber keinginan adalah karena tidak menyadari bahwa hidup akan selalu berubah dan hanyalah proses. Tahap ini menjadi tahap akhir dan menjadi tahap tertinggi dalam Agama Buddha. Untuk menguraikan tahapan ini membutuhkan suatu latihan dasar dari ketiga tahap sebelumnya, oleh karena itu dalam kesempatan ini tahap terakhir ini hanya diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran sepintas dahulu. Dalam kesempatan lain, mungkin akan dibicarakan secara khusus dan mendalam.
Sesungguhnya bila hanya untuk mengatasi stress saja ketiga tahap di atas sudah lebih dari cukup. Bila hendak mengatasi masalah hidup yang sesungguhnya yaitu untuk mencapai Tuhan Yang Mahaesa (=Nibbana/Nirwana) maka tahap keempat adalah tahap yang harus dilaksanakan.
PENUTUP
Istilah ‘stress’ kelihatannya baru muncul dalam beberapa dekade belakangan ini, tetapi sesungguhnya sejak jaman Sang Buddha hidup bahkan mungkin jauh sebelumnya itu kondisi stress ini telah dialami umat manusia. Oleh karena itu, Ajaran Sang Buddha bukan hanya berisikan petunjuk untuk mengembangkan kebahagiaan yang telah dimiliki, namun juga berisikan kiat-kiat untuk memperbaiki situasi lahir batin yang sedang dihadapi. Apabila kondisi lahir batin dapat diselaraskan dengan kenyataan hidup, maka terbebaslah orang dari stress.
Kini, pengertian untuk mengatasi stress sebagai fenomena era globalisasi dan teknologi telah diberikan, tinggal dilaksanakan. Sesungguhnya menurut Sabda Sang Buddha:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.