My Blog List

Tuesday, November 29, 2011

karma anak dan orang tua

Seorang mahasiswi menangis tersedu-sedu dihadapan dosen agama Buddha yang penuh kasih terhadapnya. Ia sedih, kecewa, dan agak tergoncang batinnya menghadapi kenyataan pahit yang harus diterimanya saat ini. Ia tidak menduga bahwa hubungan cinta yang telah dibinanya selama ini harus kandas di tengah jalan. Ia tidak menyangka bahwa calon mertuanya akan menolak dirinya sebagai menantu hanya karena ia mempunyai seorang ayah yang gemar berjudi dan mabuk-mabukan. Ia sedih karena calon mertuanya beranggpan bahwa jika orangtuanya berkelakuan tidak baik, maka anaknya pasti mempunyai kelakuan yang tidak baik pula. Ia kecewa karena ia merasa bahwa anggapan itu tidak berlaku terhadap dirinya. Dengan penuh kesabaran, dosen agama Buddha tadi memberikan nasihat-nasihat yang ternyata dapat menghibur mahasiswi tersebut.

Sesungguhnya karma orang-tua tidak menurun kepada anaknya karena setiap makhluk membawa karmanya masing-masing. Namun, memang ada persamaan karma antara orangtua dan anak sehingga mereka bisa berkumpul dalam satu keluarga. S etiap makhluk yang akan bertumimbal lahir harus mempunyai getaran karma yang sama dengan orang tuannya. Jadi, pada saat mahasiswi tadi bertumimbal lahir melalui kandungan ibunya, ia mempunyai getaran karma yang sama pula. Jika ia mempunyai ayah yang berkelakuan tidak baik, maka ini merupakan buah dari karma buruk yangpernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau. Dengan demikian, ia tidak boleh membenci ayaknya. Ia tidak boleh menyalahkan ayahnya. Ia tidak boleh beranggapan bahwa ayahnyalah yang merupakan penyebab putushnya hubungan cointanya dengan teman kuliahnya itu.

Sesungguhnya, hubungan cintanya juga bisa putus diakibatkan oleh karma buruk lain yangpernah dilakulkannya pada kehidupan yang lampau.

Dalam kita suci Dhammapada Bab XXIII ayat 332, dikatakan:

“Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap petapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap para ariya (orang suci) juga merupakan kebahagiaan.”

Ayah dan ibu merupakan orang tua kita. Walau bagaimanapun buruknya sifat ayah dan ibu kita, mereka tetap orangtua kita. Sebagai anak, kita wajib menghormati dan menyayangi mereka. Jika mereka berkelakuan tidak baik, maka kita wajib berusaha untuk menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang benar. Memang ini bukan merupakan suatu tugas yang mudah, tetapi usaha kita lakukan dengan penuh pengorbanan pun tak akan sia sia.

Anak yang baik tidak akan menyalahkan orang lain bila ia menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan. Hendalnya ia menyadari bahwa penderitaan itu hanya datang kepada orang yang memang harus menerimanya. Ia akan menerima penderitaan itu dengan tabah walau tidakd apat dipungkiri bahwa pada saat itu pasti batinnya agak tergoncang.Namun, ia tidak akan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Ia akan menyadariu bahwa tak ada gunanya menyesali peristiwa yang telah terjadi. Jika hubungan cinta itu memang harus kandas di tengah jalan, maka hal ini tidka perlu terlalu ditangisi. Masih ada kirannya pemuda lain yang lebih baik dari dia. Masih ada calon mertua yang dapat mengerti keadaannya dan mau menerimanya sebagai menantu. Masih banyak orang tua yang tidak berpandang picik seperti tersebut diatas. Dan masih banyak orang tua yang yakin bahwa menantunya merupakan orang yang bnaik walaupun orangtuan menantunya berkelakuan tidak baik.

Mahasiswi di atas merupakan gasid yang baik. Ia dapat menjadi baik berkat pendidikan agama yang diperolehnya di bangku sekolah. Ia tekun belajar agama Buddha. Ia rajin mendengarkan dan berdiskusi Dharma dengan tokon-tokoh Buddhis. Ia senantiasa berusaha melaksanakan Pancasila Buddhis dalam kehidupannya sehari-hari. Ia senang berbuat amal sesuai denga kemampuannya. Jika kelak ia berumah tangga, ia telah bertekad untuk menjadi seorang isteri yang setia dan puas hanya dengan seorang suami serta senantiasa menghormati ayah dan ibu mertuanya sebagai dewa dan dewi. Ia yang telah terbiasa hidup sederhana itu bertekad untuk tidak menjadi isteri yangmaterialistis. Sesungguhnya, pemuda yang dapat memperisterinya itu akan bahagia. Dengan demikian, nyatalah bahwa dari orangtua yang berkelakuan tidak baik mungkin saja muncul anak-anak yang berkelakuan baik.

Dalam Dhammapada Bab III ayat 43, dikatakan:

“Bukan seorang ibu, ayah, maupun sanak keluarga lain yang dapat melakukan; melainkan pikiran sendiri yang diarahkan dengan baik yang akan dapat mengangkat derajat seseorang.”

(Dikutip dari Majalah Dhamma Cakku No.13/Tahun X/1989)




karaniya metta sutta

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya:
"Kemanakah Bhante akan pergi?".
Para bhikkhu itu menjawab:
"Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman".
Penduduk desa itu menyarankan:
"Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu".
Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi:
"Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana".
Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa.

Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu,
"Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak enak lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri".

Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi:
"Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini".

Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu. Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir:
"Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi". Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.
Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali:
"Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak enak lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana yah, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?".

Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.
Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek atau sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:
"Saudaraku, kamu sakit apa?".
"Saya sakit pilek".
"Saya batuk-batuk".
"Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan".
"Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan".
"Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan".
"Saudaraku, kita harus meninggalkan tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha".
Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:
"Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?".

Para bhikkhu menjawab:
"Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu amat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia".
"Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu".
"Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana".
"Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa "senjata". Dan sekarang kamu harus membawa "senjata" bila kamu kembali ke sana".
"Senjata apakah itu Yang Mulia?"
Sang Buddha lalu menjawab,
"Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi".

Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta:

KARANIYAMATTHAKUSALENA
YAN TAM SANTAM PADAM ABHISAMECCA
SAKKO UJU CA SUHUJU CA
SUVACO CASSA MUDU ANATIMANI

SANTUSSAKO CA SUBHARO CA
APPAKICCO CA SALLAHUKAVUTTI
SANTINDRIYO CA NIPAKO CA
APPAGABBHO KULESU ANANUGIDDHO

NA CA KHUDDAM SAMACARE KINCI
YENA VINNU PARE UPAVADEYYUM
SUKHINO VA KHEMINO HONTU
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA

YE KECI PANABHUTATTHI
TASA VA THAVARA VA ANAVASESA
DIGHA VA YE MAHANTA VA
MAJJHIMA RASSAKA ANUKATHULA

DITTHA VA YE VA ADDITTHA
YE CA DURE VASANTI AVIDURE
BHUTA VA SAMBHAVESI VA
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA

NA PARO PARAM NIKUBBETHA
NATIMANNETHA KATTHACI NAM KANCI
BYAROSANA PATIGHASANNA
NANNAMANNASSA DUKKHAMICCHEYYA

MATA YATHA NIYAM PUTTAM
AYUSA EKAPUTTAMANURAKKHE
EVAMPI SABBABHUTESU
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM

METTANCA SABBALOKASMIM
MANASAMBHAVAYE APARIMANAM
UDDHAM ADHO CA TIRIYANCA
ASAMBADHAM AVERAM ASAPATTAM

TITTHANCARAM NISINNO VA
SAYANO VA YAVATASSA VIGATAMIDDHO
ETAM SATIM ADHITTHEYYA
BRAHMAMETAM VIHARAM IDHAMAHU

DITTHINCA ANUPAGAMMA
SILAVA DASSANENA SAMPANNO
KAMESU VINEYYA GEDHAM
NA HI JATU GABBHASEYYAM PUNARETI’TI


Inilah yang harus dikerjakan
oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan.
Untuk mencapai ketenangan,
Ia harus mampu, jujur, sungguh jujur,
Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.

Merasa puas, mudah disokong/dilayani
Tiada sibuk, sederhana hidupnya
Tenang inderanya, berhati-hati
Tahu malu, tak melekat pada keluarga.

Tidak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh Para Bijaksana
Hendaklah ia berpikir :
Semoga semua makhluk berbahagia dan tentram,
Semoga semua makhluk berbahagia.

Makhluk hidup apa pun juga
Yang lemah dan kuat tanpa kecuali
Yang panjang atau besar
Yang sedang, pendek, kecil atau gemuk.

Yang tampak atau tidak tampak
Yang jauh atau pun dekat
Yang terlahir atau yang akan lahir
Semoga semua makhluk berbahagia.

Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja.
Jangan karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain celaka.

Bagaikan seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya
Melindungi anaknya yang tunggal,
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran (kasih sayangnya) tanpa batas.

Kasih sayangnya ke segenap alam semesta
Dipancarkannya pikirannya itu tanpa batas
Ke atas, ke bawah dan kesekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci dan permusuhan.

Selagi berdiri, berjalan atau duduk
Atau berbaring, selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini
Yang dikatakan : Berdiam dalam Brahma

Tidak berpegang pada pandangan salah (tentang atta/aku)
Dengan sila dan penglihatan yang sempurna
Hingga bersih dari nafsu indera
Ia tak akan lahir dalam rahim mana pun juga.

Selesainya Sang Buddha mengucapkan syair Karaniya Metta Sutta, Sang Buddha berkata:
"Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi".
Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan.

Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa "senjata" yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniya Metta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.
Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniya Metta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk.

Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.

Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan,
"Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan".
Mereka lalu mengembangkan Pandangan Terang.
Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:
"Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan".
Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.

Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:

"Dengan menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, maka hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota dan menyerang mara dengan senjata kabijaksanaan"


buddha marah

Hiduplah seorang wanita yang selalu melafalkan nama Amitabha Buddha, sangat rajin dan melafalkan " Namo Amitabha Buddha" sebanyak tiga kali sehari. Walaupun dia selalu melakukan praktek ini selama lebih dari 10 tahun, dia masih sering berteriak dan memarahi orang lain sepanjang waktu. Dia mulai berlatih menggunakan dupa dan lonceng kecil.

Seorang teman ingin memberinya pelajaran dan tepat ketika si wanita itu hendak memulai pelafalannya, temannya tadi datang mengedor pintunya dan berseru: "Mbak Nuyen, Mbak Nuyen!".

Saat ini sebenarnya adalah waktunya untuk berlatih dan si wanita itu pun merasa kesal, tetapi ia berkata pada dirinya sendiri: "Saya harus berjuang melawan kemarahan saya, jadi saya akan mengabaikannya saja." Dan ia melanjutkan: "Namo Amitabha Buddha, Namo Amitabha Buddha ..."

Tetapi temannya itu terus berteriak memanggil namanya, dan ia menjadi lebih dan lebih memaksa.
Dia berjuang melawan itu dan bertanya-tanya apakah dia harus menghentikan pelafalan untuk membukakan pintu, tapi ia terus membaca: "Namo Amitabha Buddha, Namo Amitabha Buddha ..."

Laki-laki di luar mendengarnya dan melanjutkan: "Mbak Nuyen, Mbak Nuyen ..."

Maka si wanita itu tidak tahan lagi, melompat, membanting pintu dan pergi ke pintu gerbang dan berteriak: "Mengapa kamu harus bersikap seperti itu? Aku sedang melakukan praktek saya dan anda terus berteriak-teriak memanggil nama saya berulang-ulang!"

Pria itu tersenyum dan berkata: "Aku hanya memanggil nama Anda selama sepuluh menit dan kau begitu marah. Anda telah menyebut nama Buddha Amitabha selama lebih dari sepuluh tahun sekarang; coba bayangkan betapa marahnya dia sekarang!"